25 Desember 2014

Kaya

Halo, Indonesia! Apakah kita kaya raya? 

Menurut Bank Dunia, Indonesia menempati nomor 108 negara terkaya berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Dengan nilai US$ 3.475 setelah Guatemala, Armenia, dan Georgia. Hebatnya lagi, Indonesia mengalahkan India, Filipina, Pakistan, Sri Lanka, Maroko dan lainnya. Tapi apakah distribusi PDB per kapita yang disebutkan itu merata? 

Tidak usah muluk-muluk, akan sangat sulit menilai kemakmuran suatu negara berdasarkan PDB per kapita. Kalaupun besar, belum tentu distribusinya merata. Apalagi Indonesia memiliki sektor informal yang besar, underground economy. Seperti pedagang asongan, tukang ojek, dan sebagainya. Menghasilkan nilai tambah tapi tidak resmi dicatat. 

Kita bicara dengan lebih gampang saja. Potensi alam kita besar. Minyak, emas, batu bara, nikel, tembaga, sawit, karet, ikan, bla-bla-bla. Banyak sekali yang bisa kita gunakan. Apakah cukup kaya? 

Seorang petani memiliki puluhan hektar sawah. Tiap hari dia pergi ke sana, mencangkul, menanam, memupuk, memanen, semua diawasi. Lengkap. Tapi hasilnya buat hidup sehari-hari saja pas-pasan. Malah kalau sakit mesti puasa, mengalihkan pengeluaran makan untuk keperluan berobat. Bahkan untuk biaya sekolah anaknya terpaksa mengutang ke bank. Apakah dia kaya? 

Sama seperti petani di atas, Indonesia ini potensinya besar tetapi masih harus berhutang untuk menutup defisit anggaran (APBN). Kita punya potensi alam yang luar biasa melimpah. Mau makan tinggal cabut ubi di kebun. Mau ikan tinggal lempar kail dan jala. Tapi ternyata kebutuhan hidup bukan Cuma itu. Kita butuh kesehatan, fasilitas, infrastruktur, dan seterusnya. 

Berpotensi besar belum tentu kaya. Karena kaya itu lebih soal prestasi (pencapaian) daripada potensi. Kalaupun tidak mencapai surplus, paling tidak APBN bertahan di Break Even Point lah. Bukan apa-apa, kasihan anak cucu kalau diwarisi utang segunung begitu. 

Tapi pendapat saya ini tidak perlu diambil pusing. Belum tentu benar. Karena kebenaran hanya Tuhan yang tahu. Postingan ini cuma upaya jualan jamu. Meneruskan omongan orang sini ke orang situ. Cuma omongan. Cuma kata-kata. Hah angin. Maklum, orang awam. Orang bodoh. 

Yang jelas, Kisanak, saya menolak Indonesia dikatakan kaya Raya (nama kawan saya). Soalnya Raya tidak sixpack, cenderung buncit. Mendingan kaya saya. One pack. Mirip papan talenan. 

(Berkaitan dengan postingan sebelumnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok