29 Agustus 2014

Arloji

"Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Sahabat saya yang super (apa sudah mirip Mario Teguh?), begitulah penggalan naskah proklamasi yang dibaca Bung Karno pada 17 Agustus 1945. Kemudian meski dengan seksama, tapi tak boleh lama-lama. Singkat, padat, dan jelas. Masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia zaman baheula?

Oh ya, sebelum terlampau jauh. For your information, saya menulis ini ditemani semangkuk bubur kacang ijo. Meski dari penampakannya lebih cocok disebut coklat butheg ketimbang hijau. Tapi apalah arti sebuah nama jika sendirinya ingin menjadi yang lain. Seperti Kangen Band yang kurang ngangenin, mungkin. Bubur ini juga memilih takdirnya sendiri.

Dulu waktu kecil saya hanya mengenal sedikit jenis bubur. Pertama, bubur kacang ijo yang selalu disajikan tiap Jumat di TK Bina Patra (Cepu), taman masa kanak-kanak saya. Kedua, bubur sumsum yang dijajakan penjual sayur keliling tiap pagi. Ketiga, bubur merah-putih yang kami, orang tradisional Jawa, gunakan untuk selamatan (syukuran) peringatan weton atau hari kelahiran sesuai kalender Jawa. Ada 3 jenis bubur.

Tidak lama, saya mulai melebarkan sayap ke pergaulan tetangga kota. Di sana berkenalanlah dengan bubur ayam. Perjumpaan ini pasti sudah diatur Tuhan. Karena saya langsung jatuh cinta pada jilatan pertama.

Sejak saat itu saya sering jajan bubur ayam di Tembalang, Semarang. Langganan saya bubur ayam di pojok area Toko Tembalang, namanya Bubur Ayam Totem (Toko Tembalang). Dan bubur ayam warung Pak Brewok, tapi namanya bukan Bubur Brewok. Untungnya begitu. Tapi apalah arti sebuah nama.

Sekarang betapa terkejutnya saya. Ternyata ada banyak sekali jenis bubur di Nusantara. Belum seluruhnya pernah saya rasakan, atau setidaknya saya jilat. Tetapi hampir semua ingin saya coba. Ya, hampir. Tidak semua. Karena saya pasti tidak doyan bubur kertas.

Eh, maaf, kok jadi bubur-buburan. Tadi niatnya bukan menulis soal ini. Tapi ya sudah, terlanjur agak jauh. Halamannya juga mulai penuh. Bubur di mangkuk saya sudah tak tersisa pula. Tak terasa. Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya singkat. Makanya saya butuh jam tangan dimanapun berada. Biar cuma main layangan di pekarangan. Kan sayang kalau menyia-nyiakan waktu yang tak banyak ini. Jadi perlu arloji, sekedar pengingat diri.

Urip iki mung mampir ngombe, kata Kakek saya. Njih, Mbah, semua ini akan diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok