04 September 2014

Tertawa

Pertama kali saya menulis mungkin sewaktu TK. Untung saat itu belum mengenal media sosial. Betapa memalukannya jika memposting tulisan yang tidak rapi. Dokter saja membaca tulisan saya bisa gumoh semalaman.

Akun media sosial saya yang pertama adalah Friendster. Sekitar tahun 2006 atau 2007. Maklum, ABG masa itu. Biar dibilang trendy. Kalau online mesti ke warnet dulu. Bayarnya 3000 untuk 1 jam. Lumayan buat stalking profil gebetan.

Seiring berjalannya waktu, saya juga berjalan. Supaya sehat. Maksudnya, berusaha mengikuti perkembangan zaman. Ada Facebook, Youtube, Instagram, dan seterusnya yang entah berapa sekarang jumlahnya. Malah ada biro jodoh online segala. Bukan, saya bukan anggotanya. Cuma sempat mengintip sedikit saja. 

Saya 'kan tidak ikut begituan juga sudah laku. Kalau tidak ya obral.

Main media sosial kurang afdol kalau tidak pernah alay. Benar, saya juga pernah selfie dengan angle dari atas sambil manyun. Anak sekarang bilang sweet duck. Masih ada setumpuk foto itu di album Facebook. Sengaja tidak saya hapus. Supaya ingat, saya pernah se-menjijikkan itu. Bahan cerita buat anak cucu.

Dari sekian banyak akun terdaftar di media sosial, saya paling suka Blogspot. Di sini fluktuasi kejiwaan saya terdokumentasikan dengan cukup rapi. Misalnya, mudah melacak kapan hidup saya dikelilingi puisi. Ada juga masa-masa dimana rasanya ingin bunuh diri. Tapi akhirnya lewat blog saya berusaha menulis lebih serius. Menuangkan pemikiran-pemikiran canggih masa kini. Tampil berkelas. Sok pintar. Kutip sana-sini.

Tapi, lho, malah dianjurkan menulis buku komedi. "Cocok genrenya!" Kata seorang kawan.

Mestinya saya tersinggung. Orang sudah peras otak sampai mengkerut kok dikira sedang melawak. Dagelan itu biar jadi spesialisasi arek Srimulat. Tugas saya memberi pencerahan pada anak muda supaya tidak sesat. Bukan melawak.

Atau, apakah pelajaran hidup yang paling serius adalah lawakan? Belajar menertawakan orang yang gontok-gontokan membela agama. Menertawakan artis yang operasi plastik agar hidungnya lancip mirip tanduk rusa. Menertawakan semuanya. Meski ternyata yang ditertawakan itu diri sendiri.

Barangkali dunia ini hanyalah panggung komedi. Dan tingkat spiritual tertinggi adalah mampu menertawakan diri sendiri.

Ah itu filosofi hiburan. Gaya politisi cari makan. Diplomasi negara keok perang. Yang jelas semangat menulis saya runtuh lantaran saran teman tadi. Padahal tulisan ini demi kemaslahatan umat.

Biarpun sepertinya umat sudah cukup dewasa. Mungkin mereka bisa tanpa saya. Iya, mungkin bisa. Ah, lebih baik saya bunuh diri saja. Dengan cara yang tidak terlalu menyakitkan...

*tahan napas*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok