18 September 2011

Merenung

Beda ladang beda belalang. Ah, bukan, bukan. Maksud saya, beda dulu beda sekarang. Tapi pepatah mana yang tepat? Sayang saya bukan ahli ilmu perpepatahan. Mestinya dulu saya ambil jurusan Pepatologi. Ha?

Dulu saya suka terburu-buru menulis hasil renungan yang belum matang. Ibaratnya orang bangun tidur kebelet boker. Kalau sekarang harus mengendap dulu berhari-hari, berminggu-minggu, malah berbulan-bulan. Alon asal kelakon. Begitu kata Pak Dalang dari Rembang. Saya sempat mendengarkan pentas Wayang Kulitnya yang disiarkan on-air di radio beberapa waktu lalu. Katanya, alon bukan berarti lamban. Alon tegese dipikir ati-ati. Pelan-pelan berpikir, hati-hati. Ojo grusa-grusu. Pepatah bijak selalu bisa ditarik kesimpulan positif.

Menulis bukan hobi saya. Bukan kebutuhan, bukan rutinitas, juga bukan pekerjaan. Tidak harus ketika waktu luang, saat kuliahpun bisa menjadi moment terbaik. Tentu saja bukan tulisan yang berhubungan dengan mata kuliah. Ada dorongan tiba-tiba yang entah dari mana datangnya. Dorongan itu yang kemudian memaksa tangan saya meraih pena dan memperkosa kertas sejadi-jadinya. Selalu terasa menyenangkan. Tapi lagi-lagi saya gagal mendefinisikan dorongan misterius itu.

Apa? Itu namanya hobi? Ya, itu sih terserah sampeyan.

Kembali ke atas. Sekarang saya lebih suka mengendapkan hasil renungan berlama-lama. Biasanya renungan tadi terbawa kemana-mana. Ke kelas, kantin, ranjang, bahkan jamban. Renungan itu membuat segala macam ganda (bau), rupa (warna), rasa (rasa) menjadi netral total. Bahkan mungkin saya pernah lupa beda bau jeruk purut dengan bau kentut. Pokoknya netral. Total.

Ngomong-ngomong soal pengendapan-renungan, diperpanjang pun rasanya belum juga matang. Masih ada juga topik yang buru-buru minta terbit. Tapi jangan salah, ada juga topik yang masih dalam masa inkubasi selama berbulan-bulan. Sampai sekarang masih saya kandung. Entah kapan jabang bayi ini mau mbrojol. Lho, iya kan, ada yang tidak buru-buru ikut demonstrasi. Nanti, insyaallah, saya muntahkan semuanya.

Merenung Sampai Mati. Masih enak didengar. Tapi bentar, siapa yang ngucap? Itu kan judul blog Prie GS. Cuma ditulis gitu aja buat header. Kalau nggak ada yang ngucap, mana mungkin kedengeran? Percayalah, saya mendengarnya. Namanya juga renungan. Merenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok