09 Oktober 2011

Boy dan Gadis

Bokong Boy masih betah berada dipangkuan kursi kayu tua di teras rumah Gadis. Bukannya Boy tak tahu kursi itu sekeras batu. Malah dia merasakan. Lima menit saja merelakan bokong dicumbui kursi ini, sama dengan off-road puluhan kilometer. Boy mendengar. Setiap kali kakinya digerakkan, kursi itu berdecit keras. Protes. Tapi dia tetap enggan beranjak dari sana. Dia tenggelam di dalam obrolan bersama Gadis. Satu jam sudah Boy mendengar celotehan sahabatnya itu. Semakin lama, semakin dalam dia menyelami mata Gadis. Matahari hanya menyisakan cahaya bekas kegagahannya. Tatapan mata Boy semakin hangat.

"Gantian kamu dong Boy yang cerita. Dari tadi ngelihatin mataku terus. Ada belek ya?" Gadis membuyarkan konsentrasi Boy yang sedang menikmati indahnya makhluk Tuhan di hadapannya itu, "kamu capek? Mau pulang?"

Boy gelagapan. Dia tarik nafas panjang-panjang, "What a beautiful"

"Beautiful? Ah bisa aja kamu Boy. Aku emang cantik dari dulu kali. Eh, jangan-jangan kamu suka aku ya?" Gadis tersenyum menggoda.

Boy memejamkan mata sejenak. Lalu segera membukanya kembali. Dia tak ingin kehilangan kesempatan memandang bidadari tak bersayap itu. Boy tersenyum kecil.


"Aku Adam, kamu Hawa. Kalaupun kamu bukan Hawaku, setidaknya Adam mestinya memang mencintai Hawa. Adam memang ditakdirkan berdampingan dengan Hawa. Jadi, mana mungkin aku menolak mencintaimu. Semua begitu alami.

Aku tak ingin munafik, tak juga bermaksud melankolik. Karena cinta datangnya dari Sang Khalik. Secuil kecil gejala kosmik.

Cinta itu manusiawi. Tak ada manusia yang tak punya cinta. Kalau ada makhluk berwujud manusia tapi tak bercinta, dia pasti setan. Paling tidak manusia yang telah jadi setan. Kata Putu Wijaya, Asal setan sudah apriori; pasti legam. Tidak ada yang abu-abu! Cinta itu milik manusia, bukan setan. Setan tak punya cinta. Dan aku bukan setan. Aku manusia. Jadi, biarkan aku mencintaimu.

Ini bukan cinta sederhana yang kamu kenal sewaktu abu-abu dulu. Cinta ini tak sekedar untuk memasang namamu di profil FB-ku. Aku tidak sedang mencari wanita yang mau kugandeng tangannya di Mall. Bukan wanita yang memelukku saat kubawa dengan motorku. Tidak juga agar kamu mengganti namaku di Phonebook dengan "Sayang". Cinta ini tak sesederhana itu.

Aku sedang berbicara denganmu. Dengan sahabat hatiku. Berharap akupun sahabat hatimu.

Memang kamu salah alamat jika datang padaku dan menginginkan pria dengan tampilan rupawan. Kalau aku setampan itu, pasti sudah bergabung dengan Boyband. Jangan salahkan lahirku. Tak ada orang yang merancang desain dirinya sebelum wujudnya dicetak. Aku tidak bisa menawar padaNYA. Ya, Dia yang memberiku semua ini.

Aku bukan mereka yang menawarkan cinta pada kekasihnya. Hidup dengan cinta. Makan juga makan cinta. Biarlah, itu mereka. Aku bukan juga mereka yang menjanjikanmu materi berlimpah untuk hidup bahagia. Seandainya kebahagiaan itu memang bisa dibeli dengan materi, tak mungkin banyak konglomerat berakhir di Rumah Sakit Jiwa, atau Panti Jompo. Sedangkan mereka yang sehari makan sekali saja bisa mati tersenyum di rumahnya sendiri. Para konglomerat menyedihkan itu sebenarnya hanya menggadaikan kebahagiaannya untuk membawa pulang harta. Sayang mereka gagal menebus kebahagiaan yang tergadai itu.

Dengarlah, aku tak ingin menjadi mereka. Aku hanya menjanjikanmu surga. Aku akan membawamu ke sana. Mudah-mudahan kamulah perhiasan terindah dalam hidupku. Semoga kamu patahan tulang rusukku. Biar kutolak semua bidadari surga kelak. Agar kamu satu-satunya bidadariku di sana. Aku ...."

Ya. Seharusnya Boy menumpahkan itu semua pada Gadis. Tapi puluhan kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan. Kemudian ditelan kembali memenuhi dada. Boy butuh waktu yang tepat untuk memuntahkan semua ini. Tidak sekarang. Nanti.

***

"Aku ingat, itu lima tahun lalu. Kursi ini masih seperti dulu." Boy berusaha mengais-ngais kenangannya.

"Dan kamu juga masih seperti dulu," Gadis mengumpulkan sisa ingatannya, "kamu tak pernah mengenalkan wanita itu padaku. Dulu kamu bilang, dialah yang menjadi alasanmu bekerja keras. Mengejar cita-cita. Katamu, dia akan menjadi satu-satunya bidadarimu di surga nanti. Tapi sampai hari ini kamu belum meminangnya. Menunjukkan padaku saja belum."

Boy diam lama. Ingin memuntahkan isi dadanya yang sejak lima tahun lalu disimpannya. Tapi,
"Tapi sudah tak mungkin lagi."

Gadis menoleh kepada Boy. Menyelidik isi kepalanya. Tapi Gadis bukan paranormal. Tatapannya diakhiri dengan anggukan berkali-kali.

"Kamu memang masih seperti dulu. Aku tak pernah tahu apa isi kepalamu. Seharusnya aku jadi dokter saja supaya bisa membongkar kepalamu." Gadis tertawa.

"Ya, memang masih seperti dulu."

"Mama!" bocah kecil itu muncul digendong seorang Pria.

"Makasih ya Boy, mau datang di ulang tahun pertama Dinda" sapa pria itu ramah.

Boy tersenyum.
"Iya, sayang kan kalau melewatkan ulang tahun pertama keponakan."

"Ma, dicari Bu Sri tuh" kata pria itu menyerahkan Dinda pada Gadis.

"Iya, Pa. Boy, aku tinggal dulu ya. Gendong nih keponakanmu." Dinda pindah di gendongan Boy. Gadis mencium putrinya. Kemudian meninggalkan mereka.

Manusia boleh berencana, Tuhan yang menyetujui. Jalani saja apa yang diberikan. Kalau dilalui dengan ikhlas, pasti berkah.

"Dinda kalau besar nanti, kejar cita-cita sampai dapat ya."

Dinda tak benar-benar paham apa yang dikatakan Boy. Gadis kecil itu asik memainkan kue di tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok