26 Desember 2010

Sederhana

Hukum last but not least selalu benar, begitu juga sebaliknya -apapun yg mendasari itu. Sifat kodrati yg berlaku untuk semua makhluk. Terik matahari yg angkuh akan tampak sederhana ketika senja mulai menutup tirai untuknya. Selalu, di atas keangkuhan makhluk manapun terdapat makhluk lain yg bisa lebih angkuh.

Di antara palung laut yg terdalam selalu ada palung yg lebih dalam. Percayalah. Jika tidak, coba saja ukur sendiri. Orang menetapkan sebuah palung sebagai yg terdalam karena sesungguhnya dia tidak dapat mengukur palung lain yg lebih dalam. Kita pun tidak akan pernah tahu apa yg hidup di dalamnya. Baru bisa tahu jika kehidupan itu muncul ke permukaan. Itupun kalau tidak luput dari mata kita.

Doa manusia yg besar selalu menjadi sederhana bagi Sang Khalik. Bahkan kadang menjadi sederhana juga di mata manusia lain. Wajarnya, karena orang lain sadar doa tersebut akan menjadi sederhana bagi Tuhan. Karena doa tersebut banyak dipanjatkan oleh orang-orang yg lain juga.

Sedangkan ketika kita panjatkan doa yg sederhana kadang kita berpikir, "bukankah kita diperintah berdoa, kalau begitu kenapa harus doa yg sederhana." Tapi biasanya kita segera menemukan jawaban yg melegakan. Karena doa besar tidak selalu menjadi sangat mulia bagi kita sendiri. Sedangkan doa yg sederhana lebih mudah terbebas dari perasaan kecewa.

Jadi, saya pikir lebih baik doa yg sederhana dengan ikhtiar yg besar. Doa yg sederhana adalah kemampuan hati kita menempatkan doa sebesar apapun pada lay-out yg kecil, kemudian mengajukan proposal kepada Tuhan Yang Maha Besar untuk mengharap ACC. Tapi hati-hati, jangan sampai doa biasa menjadi besar karena hati kita tidak mampu mengemasnya menjadi sederhana.

Kawan, pernahkan kita memanjatkan doa sederhana untuk sesuatu yg sederhana? Karena akan menjadi nikmat luar biasa ketika terkabul.

25 Desember 2010

Retorika Pasivis Kampus

Beberapa waktu lalu kami menggagas pendirian kelompok diskusi di Politeknik Negeri Semarang (Polines). Awalnya kami sepakat memberikan nama Gerakan Pasivis Kampus. Namun sepertinya kata "Gerakan" terlalu membebani aksi kelompok ini. Terdengar agak radikal. Kemudian muncul ide untuk menggantinya dengan kata "Retorika", menjadi "Retorika Pasivis Kampus". Ketika nama tersebut disepakati, kelompok ini resmi terbentuk. Tidak membutuhkan AD-ART, STO, dan tetek bengek lainnya.

  • Retorika
Menurut paham kami, retorika berarti menggunakan bahasa yg mungkin persuasif dan efektif untuk berkampanye. Tidak sampai di sana saja, kami serius mencari referensi kamus-kamus bahasa. Dalam Kamus Prima Bahasa Indonesia yg disusun oleh Priyo Darmanto dan Pujo Wiyoto, retorik artinya [2] ucapan, tulisan/yg nampak hebat tetapi sebenarnya ... tidak berarti apa-apa. Tepat sekali dengan pemikiran kami. Bahwa mungkin kelompok ini dipandang tidak berarti apa-apa -di samping keefektifannya atau malah sama sekali tidak efektif. Kami siap menghadapi sinisme dan sentimentil siapapun.

Istilah retorika dikenal pertama kali oleh bangsa Yunani kuno. Pada waktu itu retorika identik dengan pidato politik. Persis dengan tujuan kelompok ini yaitu berpropaganda. Kalau dulu di Yunani retorika berarti seni berpidato untuk mempropaganda simpatisan, kami akan melakukannya dengan tulisan. Dewasa ini retorika memang lebih dikenal dengan tulisan -seiring perkembangan teknologi yg mempermudah penyampaian informasi.

Dengan menggunakan bahasa yg agak susah dipahami, sehingga wajar saja ada pendapat retorik merupakan kata/kalimat yg sebenarnya tidak berarti apa-apa. Karena kata tersebut dapat diganti dengan kata biasa dan lazim dalam percakapan biasa. Namun kata yg susah dipahami itu pun digunakan karena alasan kuat. Kadang kata biasa tidak cukup mewakili apa yg dimaksud. Sedangkan 1 kata retorik bisa mewakili satu/lebih kalimat biasa. Dengan demikian kata retorik disamakan dengan kata efektif.

  • Pasivis
Kami memilih kata pasivis karena di dalam kampus manapun terdapat istilah aktivis. Ya, di dalam kehidupan mahasiswa memang dikenal terminologi aktivis. Aktivis umumnya terikat AD ART, STO, Proker, dan tetek bengek lainnya. Intinya, organisasi selalu memberikan ruang sempit dengan segala urgensi.

Secara goblok-goblokan, pasivis adalah lawan dari kata aktivis. Memang. Meskipun tidak seradikal paham kiri jalan yg bergerak melawan kaum kanan jalan pada 1926 sampai 1948, tapi Gerakan Pasivis Kampus memang sedikit melawan arus. Dengan semangat integratif, Retorika Pasivis Kampus berusaha mengcover pemikiran-pemikiran mahasiswa yang ingin disuarakan tanpa terjerat jaringan tetek bengek apapun.

Itulah alasan kami menggunakan kata pasivis. Lagipula aktivis kampus Polines memang jarang mendiskusikan materi-materi tertentu yg banyak dan lazim didiskusikan oleh aktivis-aktivis kampus lain. Sepanjang pengalaman memang begitu.

  • Kampus
Tidak perlu dijelaskan apa artinya, hanya perlu sedikit penegasan bahwa kampus yg dimaksud adalah Politeknik Negeri Semarang (Polines). Penjelasannya telah dibahas pada bagian pasivis paragraf ke tiga.

Dari semua dasar tersebut diatas, kemudian kami memberikan semacam sub-title: Menukangi Pemikiran yang Tidak Banyak Disuarakan Aktivis Kampus (Polines). Dan sebuah jargon: Fight and Free!

Kami anti intervensi dan konspirasi. Kami bebas dari tunggangan golongan/kelompok/institusi/birokrasi/partai politik manapun.

Aksi kami adalah menerbitkan buletin yg selanjutnya ditempel pada mading-mading yg ada di Polines. Isi buletin Retorika Pasivis Kampus bermacam-macam dan bebas sesuai keinginan tukangnya (Simpatisan kelompok ini disebut tukang). Tujuannya jelas, propaganda. Penulis materi dalam buletin bertanggung jawab penuh atas tulisannya, karena itu disertakan pula identitas penulisnya. Edisi 1 telah terbit akhir tahun 2010 tepatnya bulan Desember. Edisi berikutnya akan terbit pula tapi tidak ditentukan deadline penerbitannya.

Kami menerima tulisan-tulisan warga kampus untuk diterbitkan. Isi materinya bebas. Boleh cinta, politik, ekonomi, sosial, budaya, seputar kampus, apapun. Dengan catatan, identitas penulisnya harus jelas. Artinya bisa dihubungi alamat penulisnya.

Ideologi manapun berhak hidup, meskipun cuma dalam jiwa pemiliknya. Ketika ideologi mendesak untuk erupsi, maka biarlah meledak sekuat-kuatnya. Barangkali tidak sedahsyat gunung merapi, setidaknya aman dari sakit perut. Bayangkan saja saat kentut tertahan gengsi yg egois, maka "bumsss" nikmat tak terhingga ketika merdeka seperti ban melindas paku. Ketika tak satupun organisasi mampu mengakomodasi sebuah konsep, pilihan pertama adalah diam. Namun seperti dikatakan Goenawan Mohamad bahwa diam tidak memiliki substansi apa-apa kecuali diam itu sendiri. Pilihan kedua dan barangkali yg terakhir adalah independensi. Retorika Pasivis Kampus adalah kelompok diskusi yg independen.

FIGHT AND FREE!

23 Desember 2010

Resah Asasi Manusia

Resah itu kembali datang. Kadang aku resah menyaksikan pelanggaran kemanusiaan, kehidupan sosial & politik, ekonomi, dan lain-lain. Kali ini sang resah dibawa kasus klasik dan tertua yg pernah mengusik. Emosional, yg paling asasi, dan juga yg paling dalam.

Aku pernah muak dengan emosi ini. Bukan hanya karena terlalu banyak menyiksa, juga karenanya orang bisa sembarangan menyimpulkan yg mereka tidak benar-benar paham. Dan itu lebih menyiksa dibanding apapun dari emosi ini. Lebih dari sekedar senyum kecut yg pernah ada di wajahku. Yang mereka tidak akan pernah mengerti apa yg dikemas di dalamnya. Mudah saja mata awam menilaiku biru yg sebenarnya tampak abu-abu. Menyebalkan.

Memang semua salahku. Karenaku sendiri. Tapi adilkah anak manusia mengurung saudaranya di dalam sangkar yg jauh dari peradaban. Tidak bolehkah seorang residivis menjadi pahlawan. Setidaknya untuk diri sendiri. Apakah dunia hanya milik orang-orang yg dianggap suci dan menganggap dirinya suci. Padahal (mereka) penghuni black list tidak selamanya tersangka yg hakiki. Hanya kadang mereka gagal menunjukkan kebenaran, karena dipecundangi pembenaran. Hukum memang terlalu alot.

Dengan segala pembenaran yg telah menjadikanku residivis, tidak akan membuatku berhenti berjuang untuk menghapus tinta merah dari dalam rapor kehidupanku dan membuktikan kebenaran yg lebih mulia daripada yg mereka punya. Sabotase dan manipulasi tidak akan menjegalku berlari. Takkan ku biarkan. Karena aku tahu aku punya kesempatan.

Hingga hari ini pun aku masih mengejar kesempatan itu. Dengan lebih hati-hati tentunya. Akan kubuktikan bahwa aku orang yg teguh, prinsipil, berkomitmen, determinis, dan tidak sembarangan.

Aku tidak ingin dunia berubah agar mengubahku, tapi aku ingin berubah untuk mengubah dunia.

20 Desember 2010

Analogi Pandangan Erich Fromm

Kali ini saya akan mencoba mengurai pandangan seorang Psikoanalisis Jerman, Erich Fromm, yg ditulis dalam buku Escape from Freedom. Fromm menjelaskan bahwa “otoritas merupakan hubungan superioritas dan inferioritas.” Jadi, dalam ranah kekuasaan ada yg disebut dengan superior dan inferior. Inilah otoritas. Dan macam otoritas ada 2; Rational Authority dan Inhibiting Authority.

Rational Authority adalah hubungan superior dan inferior atas dasar kehendak baik. Semacam kompetensi timbal balik positif untuk berkembang. Sedangkan Inhibiting Authority merupakan hubungan yg menghambat. Didasarkan pada kekuasaan semata dengan memisahkan moral daripadanya. Meminjam kosa kata Friedrich Nietzsche, akan tercipta 2 golongan utama yaitu tuan dan budak. Golongan tertindas akan semakin diperbudak golongan tuan. Dan dalam hubungan tidak sehat ini golongan budak bisa selamanya menjadi budak tanpa ada kesempatan keluar dari situasinya. Si budak adalah semua yg dikuasai oleh pemilik kekuasaan.

Sebaiknya kita mengingat Rezim Orde Baru yg dikuasai Soeharto untuk menyegarkan pemahaman. Soeharto adalah superior dan rakyat Indonesia adalah inferior. Akhirnya membuat kaum tertindas menumpuk kebencian. Akan tetapi ada kalanya perasaan itu diganti menjadi sebuah kebanggaan –kebanggan tidak rasional.

Agus Santosa, dalam bukunya pernah menuliskan contoh, “tidakkah baik dipimpin manusia super? Apa salahnya mematuhi seorang yg baik dan sempurna?” Pernyataan tersebut adalah manuver kata yg dilontarkan oleh golongan budak yg frustasi. Bisa disimpulkan bahwa pernyataan tersebut merupakan manifesto kekalahan.

Erich Fromm mengatakan bahwa hal ini mempunyai 2 fungsi; “pertama untuk mengalihkan sakit dan bahaya dari perasaan benci, dan kedua untuk mengurangi perasaan terhina” Tendensi seperti itu bisa menjadi kompensasi rakyat yg sudah frustasi.

Jika seseorang masih mengagung-agungkan kekuasaan perbudakan yg lalu, kemudian membandingkan dengan pemeintahan sekarang yg lebih bersih, bisa dipastikan orang tersebut adalah orang yg tidak rasional, atau sama sekali bodoh pengetahuan rasionalnya. Kebanggaan yg begitu adalah pelarian atas frustasinya dengan keadaan yg sekarang tanpa ada optimisme untuk berubah menjadi lebih baik.

Hanya orang bodoh yg mau diperbudak. Dan perlawanan adalah satu-satunya cara menghapus perbudakan. Soekarno, Hatta, Sjahrir, bahkan Tan Malaka dan Musso, mereka melawan untuk memperjuangkan kehidupan yg bebas.

Sebenarnya mereka yg terlalu bangga diperbudak adalah orang-orang yg tidak menyadari bahwa para penguasa hidup dalam menara gading dengan segala kemewahan yg timpang dengan kehidupan mereka.

18 Desember 2010

Berhenti Menjadi Miskin

Menjadi orang kaya. Saya yakin kalimat tersebut selalu terselip di dalam doa semua orang. Padahal Bob Sadino -seorang pengusaha ternama di Indonesia yg kekayaannya sudah tidak diragukan lagi- berkata “emang enak jadi orang kaya?!”. Bahkan dalam sebuah buku tentang Om Bob dituliskan bahwa dia memilih menjadi miskin. Apapun, kenyataannya dia memang kaya.

Mengapa ada orang kaya? Jawabannya sederhana; karena ada orang miskin. Dua hal dikotomis yg selalu hidup berdampingan. Karena mustahil ada orang disebut kaya jika tidak ada yg disebut miskin atau minimal kurang kaya. Begitu juga seballiknya.

Kekayaan tidak hanya diukur berapa harta yg dimiliki. Tapi juga dibandingkan dengan orang-orang yg lainnya. Misalnya orang dikatakan kaya jika memiliki tabungan minimal IDR 50juta. Ternyata semua orang di dunia mempunyai tabungan paling sedikit IDR 60juta. Sekarang siapa yg miskin?

Hal tersebut mungkin saja terjadi, karena nilai uang terhadap barang/jasa tidak selalu sama. Atau daya beli uang bersifat fluktuatif (naik turun). Banyak yg mempengaruhi. Jika dulu dengan IDR 2000 kita bisa membeli 1 kg beras, sekarang harus membayar IDR 6000 untuk mendapatkan 1 kg beras. Hukum tersebut juga berlaku untuk mengukur kekayaan dengan satuan barang. Jadi, parameter kekayaan adalah perbandingan (ratio), bukan kuantitas. Kualitas aset lebih berharga daripada jumlahnya.

Sekarang saya berani mengatakan bahwa kualitas aset dunia nilainya selalu tetap. Bagaimana bisa begitu? Misalnya kuantitas aset orang kaya berjumlah 10, kuantitas aset orang miskin berjumlah 2, dan harga kebutuhan pada waktu itu 0,5. Jadi totalnya ada 12, perbandingannya 5:1, dan kemampuan aset saat itu bisa digunakan untuk mendapatkan 24x kebutuhan. Sepuluh tahun kemudian aset orang kaya berjumlah 15, sedangkan aset orang miskin 9, dan harga kebutuhan saat itu adalah 1. Mengapa 1? Wajar saja karena harga produk relatif seperti itu (fluktuatif mengikuti zaman). Kebutuhan tersebut tidak harus produk yang sama wujud/layanannya, tapi produk yg sama dibutuhkannya. Jadi total asetnya 24, perbandingannya 15:9, dan kemampuan aset bisa digunakan untuk membelanjakan 24x kebutuhan. Itulah kualitasnya. Kalau dulu orang dikatakan miskin karena pendapatan perbulannya dibawah IDR 100ribu, sekarang IDR 1juta pun jidatnya bisa distempel “MISKIN”. Sementara, itu kesimpulan diambil dengan generalisasi.

Kembali ke topik. Dengan demikian, semakin sedikit aset orang miskin, maka semakin banyak aset orang-orang kaya itu. Karena harta orang miskin yg lenyap akan masuk dalam kantong orang kaya. Siapa yg punya perusahaan-perusahaan besar, pabrik-pabrik, dll? Orang kaya. Dulu orang kaya memproduksi kebutuhan untuk memindah harta orang-orang miskin ke dalam rekeningnya, sekarang mereka lebih lihai lagi dengan memproduksi keinginan. Siapa yg mengkonsumsi produk keinginan? Paling banyak dikonsumsi orang miskin karena jumlahnya lebih banyak daripada orang kaya. Artinya, dengan kita berboros ria mengkonsumsi keinginan, kita telah memperkaya orang kaya, dan yang paling gawat kita telah memiskinkan diri sendiri.

Menurut sebuah temuan, pemilik PT Djarum merupakan orang terkaya di Indonesia. Perusahaan tersebut memproduksi rokok, dan konsumennya paling banyak adalah orang-orang yg lebih miskin –itu pasti. Mengapa dia kaya? Karena produknya laku dan dikonsumsi keras orang-orang yg lebih miskin. Semakin banyak orang miskin mengkonsumsi, semakin kaya pula dia, semakin kere pula konsumennya. Dan masih banyak contoh lain.

Demikian. Maaf kalau ternyata agak susah dipahami. Saya sendiri susah menggambarkan. Yang jelas, aset yg kita hamburkan akan memperkaya orang lain, yg akhirnya akan memperkaya orang yg lebih kaya dari kita. Kesimpulannya, berhenti memboroskan harta untuk memiskinkan diri sendiri. Hidup hemat adalah keputusan bijak.

17 Desember 2010

Melankoli Jumat

Benar kata Soe Hok Gie, tidur siang terlalu lama menjadikan senja terasa melankolik. Jumat sore, langit Desember yg khas menambah dramatisasi semakin sempurna. Tiba-tiba ingin mengisi playlist dengan satu album lagu-lagu Evo. Ingatan melayang ke SMS yg belum dibalas. Tidak biasanya. Mencoba membuka inbox, tidak ada. Tidak dibalas. Semakin melow saja rasanya.

Ah, dikagetkan gemuruh di atap. Mendadak hujan. Saya tidak yakin saya benar-benar sadar apa yg saya lakukan. Mungkin benar kata teman-teman; nyawa belum terkumpul. Tapi semakin membuat bingung. Memangnya berapa nyawa yg saya punya.

Saya tidak tahu apakah saya termasuk orang labil. Yg mudah mencari pelarian ketika resah. Saya berlari dengan menulis. Biarlah. Saya yakin menulis adalah pelarian paling positif yg saya bisa.

Mungkin mandi menjadi ide terbaik saat ini. Semakin sesak kalau semakin lama duduk begini. Paling pol kembali melamun. Saatnya mengakhiri tulisan. Selamat berakhir pekan. Selesai.

15 Desember 2010

Pagar Kayu dan Paku

Seorang anak yg masih belajar memahami esensi kehidupan mendapat pesan dari ayahnya. Sebuah pesan yang bisa diartikan sebagai hukuman -tepatnya menghukum diri sendiri. Hukumannya sederhana; setiap dia gagal mengendalikan diri (out of control), maka dia harus menancapkan paku di pagar kayu pekarangan rumahnya. Satu paku untuk setiap kegagalan.


Dalam satu hari bisa 5 kali dia memaku, meskipun kadang cuma satu. Paling banyak biasanya dilakukan sepulang sekolah. Kadang dia beradu mulut dengan temannya, kadang berprasangka buruk terhadap gurunya, dan lain-lain.

Sampai suatu hari dia berhasil menendalikan diri sehari penuh, kemudian melapor kepada ayahnya. Sang ayah tidak lantas memberikan hadiah. Ayah hanya memintanya untuk mencabut satu dari ratusan paku yg telah ditancapkannya sendiri. Hal tersebut dilakukan setiap hari. Syukurlah hatinya telah tertata dan legowo.

Namun tidak semudah itu. Satu minggu pertama dia merasakan kesulitan mencabut paku. Ternyata menancapkan lebih mudah daripada mencabut. Dia tancapkan dengan powerful, sehingga mencabutnya pun lebih susah.

Akhirnya habis sudah paku-paku yg telah ditancapkan. Dengan bangga dia kembali melapor pada sang Ayah. Ayah tersenyum dan mengajak dia untuk memperhatikan kayu pagar bekas pakuannya, kemudian berkata "nak, perhatikan kayu pagar ini! Itulah hati kita. Dia akan terluka oleh penyakit hati. Menancap kuat"
Anak menyela "tapi kita bisa mencabutnya kan Yah"

"tepat", sang ayah melanjutkan, "seperti kamu ketika mencabut paku-paku itu. Tidakkah kamu merasakan betapa susahnya mencabut paku yg telah kita tancapkan kuat. Begitu juga dengan hati kita, lebih susah belajar legowo daripada menancapkan penyakit hati"

Anak tidak bisa berkata apa-apa. Kalimat ayah menyambar telak ke titik emosionalnya. Hanya menyentuh permukaan kayu pagar dan mengusap-usap dengan jemarinya.

"satu lagi nak", kata Ayah, "pun kamu berhasil mencabut kesemuanya, bekasnya tidak akan hilang. Mudah saja kita melukai hati, tidak terlalu sulit juga untuk menyembuhkan, tapi mustahil menghilangkan bekasnya. Jagalah hatimu, jangan kau lukai. Dan jangan juga kau tancapkan paku di pagar orang lain, karena bekasnya tidak akan hilang. Itupun kalau yg punya pagar mau mencabutnya"

Sejak kejadian itu, pagar kayu pekarangan tidak pernah dirobohkan. Anak menjadikannya prasasti sampai berpuluh-puluh tahun. Kadang lupa merawat sehingga lumutan. Lubang bekas pakuannya tak hilang juga. Sampai rapuh karena panas dan hujan, tambah lagi dimakan rayap. Ternyata lubang bekas itu tidak seampuh apa yg dikatakan Ayahnya. Sekarang hilang sudah bekas-bekas tersebut. Bukan karena pulih menjadi kayu pagar yg utuh. Tapi karena lenyap dimakan usia.

10 Desember 2010

Tentang Masa Depan

Ini adalah sebuah curhat cengeng, ketika aku membayangkan apa yg akan terjadi nanti. Mungkin 2 tahun lagi, tiga tahun lagi, atau Cuma tahun depan. Aku mulai merasa kesepian, yg pasti akan kehilangan saat-saat seperti yg selama ini terlewati. Sekarang aku bergelut dengan semester akhir, dan apa yg menanti di baliknya. Bisa jadi kita berpencar ke 7 penjuru dunia seperti Dragon Ball.

Mungkin kita akan bertemu dengan keadaan yg tidak pernah dibayangkan. Seorang teman laki-laki menggandeng wanita hamil yg ternyata wanita itu juga teman lama. Mungkin kita akan melihat seseorang yg top di layar kaca, yg dulu sering pinjam uang. Apapun.

Sementara aku percaya kita tidak bisa selamanya hidup seperti sekarang. Meminta uang kepada orang tua untuk menghindari beban. Atau yg paling sederhana, hidup suka-suka kita dan merasa cukup diri sendiri untuk dipenuhi. Pada waktunya nanti kita harus meninggalkan itu semua. Meninggalkan teman, keluarga, dan kehidupan.

Mungkin nanti kita akan bertemu tapi saling asing. Mengingat sayup kenangan masa lalu tentang seseorang yg ada di hadapan kita, lalu bilang “iya aku ingat” meskipun tetap tak yakin itu siapa.

Yang paling menjengkelkan, mungkin akan bertemu teman lama dalam acara reuni, dengan membawa foto masa lalu dan memperlihatkan kenangan kumal itu. Kemudian kita akan berkata “ah orang yg pakai baju kuning ini aneh, udah kacamata segede raket, celananya merah, kulitnya gelap pula, udah kayak kaos kaki yg gak dicuci 2 bulan”. Teman kita akan menjawab “itu kan kamu dulu”, kemudian dengan gugup kita sedikit menghibur diri “ta..tapi keren juga ya”. Satu teman yg baik hati pun akan turut menghibur kita “kalau saja waktu itu kamu pakai helm full-face, pasti cakep deh”.

Tidak terbayangkan seberapa jadul kita nanti di mata masa depan. Dulu orang gaul beramai-ramai memakai celana cutbray yg saking lebarnya sampai bisa jadi kandang ayam. Sekarang rasanya Cuma klop buat dangdutan. Kemudian rambut klimis ala Rano Karno, yg sekarang Cuma nempel di dinding, di foto silsilah paling atas.

Orang sekarang menggunakan celana jins yg robek di dengkul. Mungkin besok orang lebih pintar, mungkin semua orang akan memakai helm lutut untuk melindungi otaknya.

Malah aku berpikir, gambar tokoh pada uang kertas bisa jadi “Syekh Puji”. Atau gambar gayus seperti ini


Masa depan itu tanda tanya. Begitu menurut orang yg mengaku pintar. Tapi bagi orang goblok sepertiku, masa depan itu konyol. Karena hanya di masa depan kita bisa menertawakan gaya serius kita yg sekarang. Kalau hari ini kita menertawakan kita yg sekarang, masa iya semua tertawa. Jadi rancu siapa yg ditertawakan siapa yg menertawakan. Lagi pula mana tega kita menertawakan diri sendiri. Semua pasti yakin dirinya tidak cukup aneh untuk ditertawakan. Meskipun kuliah dengan celana cutbray warna kuning dipadu dengan baju polkadot biru muda yg kancingnya dibuka sampai bulu dada terlihat. Karena ketika bercermin dia akan berkata “cool man!”

Generasi yg sekarang adalah generasi yg memimpin di masa depan. Tidak lucu juga sudah 30 tahun menjadi presiden masih mau eksis saja. Mungkin saja presiden kita nanti gaya rambutnya spikey dengan highlight warna orange kemerahan, yg bisa diduga pasti karena kebanyakan main layangan. Dan warna rambut Wapresnya kehijau-hijauan, itu pasti karena lumutan.

Bahkan sepertinya orang dulu lebih canggih dari sekarang. Nenek moyang kita bisa berkomunikasi meskipun dengan jarak ratusan kilometer. Kira-kira operator mana yg sudah berdiri. Tapi sekarang lebih jelas lagi, kita bisa berbicara dengan seseorang yg jaraknya sangat jauh dan seolah-olah dia berhadapan langsung dengan kita. Bagaimana dengan masa depan? Mungkin malah tidak seolah-olah lagi tapi langsung hadir ke hadapan. Jadi waktu ujian Nasional pengawasnya tidak perlu repot-repot meninggalkan hobinya untuk mengawasi ujian. Bisa ngemall sambil mengawasi mungkin.

Pernah membayangkan ada superhero macam Superman di masa depan? Dengan sempak di dalam tentunya, dan rambut yg lurus –mungkin dulu belum ada tukang rebonding. Tapi superhero tidak sesempit apa yg ada di mind-set kita. Tidak melulu berkelahi dengan copet, bajingan, jambret dst. Yg memperjuangkan nasib rakyat kan juga superhero. Mungkin pada waktu sidang mereka mengenakan kostum seperti catwoman. Atau dibentuk kabinet yg masing-masing menterinya memiliki warna kostum sendiri. Kemudian mereka memberantas kejahatan korupsi dengan menembakkan sinar laser yg keluar dari ikat pinggang sambil berteriak “pergilah ke neraka”. Pada suatu saat ada menteri yg tubuhnya seperti doyok. Tiap kali ada pemeriksaan dari polisi dengan membawa anjing pelacak, dia yg selalu menjadi sasaran utama. Anjing mana yg tidak bergairah bertemu dengan tulang, apalagi lihat sosis.

Tapi ingat kawan, kita mungkin menjadi orang-orang seperti itu nanti. Satu pesanku untuk diingat, larilah ke Singapura.

Semakin kesini semakin tipis juga rasa malu manusia. Bahkan urat kemaluannya nyaris putus. Eits, maksudnya urat rasa malu.tidak terbayang kalau yg putus beneran itu. Mungkin nanti orang dengan menutup matanya saja bisa bebas malu meskipun dengan telanjang bulat. Kalau sudah begitu yg mana yg dinamakan kemaluan, semua barangnya saja tidak ada yg membuatnya malu. Direkam dan disebarkan sambil berkata “ih unyuuuu”

Ah tambah ngelantur saja tulisan ini. Terbawa suasana. Yang jelas hari ini hari yg pasti kita rindukan nanti. Semakin yakin bahwa Pertemuan adalah Awal dari Perpisahan. Seperti tukang pos yg datang membawa surat, akan segera pergi dan pulang. Seperti lagu yg kudengarkan saat ini “Float-Pulang”.

02 Desember 2010

Curhat Cepu

Cepu merupakan sebuah kecamatan yang berada di dalam Kabupaten Blora, yang nyelip di pinggiran Jawa Tengah. Lazimnya, penduduk Kecamatan Cepu dikenal dengan sebutan “orang Blora”. Anehnya warga Kecamatan Cepu sepertinya lebih nyaman disebut sebagai “orang Cepu/Kota Cepu” ketimbang dengan embel-embel “Blora”.

Sebenarnya hal tersebut wajar, karena meskipun Cepu seperti kecamatan lain –kecil, tapi potensinya sangat besar. Potensi SDA sudah tidak diragukan lagi, kita mengenal Blok Cepu. Potensi SDM? Tidak kalah kaya dengan SDA-nya. Jiwa berbisnis warga Cepu cukup tinggi. Gak percaya? Buktikan sendiri; Kunjungi Cepu dan pusat Kabupaten Blora, menginap 2 hari (usahakan hari sabtu minggu). Coba amati –minimal 24 jam di Cepu dan 24 jam di Blora- kegiatan perekonomiannya, Cepu jauh lebih hidup ketimbang Blora. Bahkan banyak orang (bukan warga Cepu) yang mengatakan bahwa Cepu tidak terkesan seperti kecamatan di pinggiran pusat kabupaten.

Saya yakin Cepu adalah kecamatan teramai dan paling potensial se-Indonesia. Pasalnya saya belum pernah menjumpai yang seperti ini selain Cepu sih. Hahay.. –saya pikir tidak akan