15 Desember 2010

Pagar Kayu dan Paku

Seorang anak yg masih belajar memahami esensi kehidupan mendapat pesan dari ayahnya. Sebuah pesan yang bisa diartikan sebagai hukuman -tepatnya menghukum diri sendiri. Hukumannya sederhana; setiap dia gagal mengendalikan diri (out of control), maka dia harus menancapkan paku di pagar kayu pekarangan rumahnya. Satu paku untuk setiap kegagalan.


Dalam satu hari bisa 5 kali dia memaku, meskipun kadang cuma satu. Paling banyak biasanya dilakukan sepulang sekolah. Kadang dia beradu mulut dengan temannya, kadang berprasangka buruk terhadap gurunya, dan lain-lain.

Sampai suatu hari dia berhasil menendalikan diri sehari penuh, kemudian melapor kepada ayahnya. Sang ayah tidak lantas memberikan hadiah. Ayah hanya memintanya untuk mencabut satu dari ratusan paku yg telah ditancapkannya sendiri. Hal tersebut dilakukan setiap hari. Syukurlah hatinya telah tertata dan legowo.

Namun tidak semudah itu. Satu minggu pertama dia merasakan kesulitan mencabut paku. Ternyata menancapkan lebih mudah daripada mencabut. Dia tancapkan dengan powerful, sehingga mencabutnya pun lebih susah.

Akhirnya habis sudah paku-paku yg telah ditancapkan. Dengan bangga dia kembali melapor pada sang Ayah. Ayah tersenyum dan mengajak dia untuk memperhatikan kayu pagar bekas pakuannya, kemudian berkata "nak, perhatikan kayu pagar ini! Itulah hati kita. Dia akan terluka oleh penyakit hati. Menancap kuat"
Anak menyela "tapi kita bisa mencabutnya kan Yah"

"tepat", sang ayah melanjutkan, "seperti kamu ketika mencabut paku-paku itu. Tidakkah kamu merasakan betapa susahnya mencabut paku yg telah kita tancapkan kuat. Begitu juga dengan hati kita, lebih susah belajar legowo daripada menancapkan penyakit hati"

Anak tidak bisa berkata apa-apa. Kalimat ayah menyambar telak ke titik emosionalnya. Hanya menyentuh permukaan kayu pagar dan mengusap-usap dengan jemarinya.

"satu lagi nak", kata Ayah, "pun kamu berhasil mencabut kesemuanya, bekasnya tidak akan hilang. Mudah saja kita melukai hati, tidak terlalu sulit juga untuk menyembuhkan, tapi mustahil menghilangkan bekasnya. Jagalah hatimu, jangan kau lukai. Dan jangan juga kau tancapkan paku di pagar orang lain, karena bekasnya tidak akan hilang. Itupun kalau yg punya pagar mau mencabutnya"

Sejak kejadian itu, pagar kayu pekarangan tidak pernah dirobohkan. Anak menjadikannya prasasti sampai berpuluh-puluh tahun. Kadang lupa merawat sehingga lumutan. Lubang bekas pakuannya tak hilang juga. Sampai rapuh karena panas dan hujan, tambah lagi dimakan rayap. Ternyata lubang bekas itu tidak seampuh apa yg dikatakan Ayahnya. Sekarang hilang sudah bekas-bekas tersebut. Bukan karena pulih menjadi kayu pagar yg utuh. Tapi karena lenyap dimakan usia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok