Talk less do more, it is better. Bagi saya itu benar untuk konteks tertentu atau dalam dimensi yg tepat.
Kalimat itu menjadi benar ketika persepsi dari seorang perseptor adalah "akan lebih baik sedikit teori, dengan mengedepankan praktek/aksi". Selama "aksi" dimaknai SEGALA tindakan dalam bentuk apapun, belief tersebut akan tetap benar karena masih fleksibel.
Tapi sayang sekali ada paradigma diskriminatif terhadap makna "do/aksi" dalam masyarakat. Ada yg mengutuk aksi orang dalam bentuk tulisan (yg dipersepsikannya sebagai "talk") dengan menggunakan kalimat "TALK LESS DO MORE!". Kutukan tersebut menganggap bahwa tulisan/bicara adalah "talk" dan itu sampah. Mereka tidak menyadari bahwa "do/aksi" dapat dilakukan dengan cara apapun termasuk menulis.
Aksi dilakukan sesuai dengan kapasitas dan bidangnya. Sebagai contoh (Indonesia), untuk mengontrol pemerintahan tidak harus terlibat langsung dalam area birokrasi politik. Banyak tulisan aktivis/sipil yg berisi kecaman terhadap praktik pemerintahan, yang membuat geram pemilik kursi kekuasaan, yg kemudian mendapat dukungan dari rakyat, yg membuka mata pengetahuan rakyat, yg menyegarkan intelektualitas rakyat, yg akhirnya (dengan akar tulisan itu) jadilah pergerakan rakyat yg hebat, yg menumbangkan rezim tiranik.
Seperti itulah, tulisan bisa menjadi sangat dahsyat. Karena tulisan tidak selamanya bermakna "talk" yg falsafah. Dan "do/aksi" dapat dilakukan dengan cara apa saja. Ceramah, menulis, orasi, dialog atau hanya sebatas membacot.
Maka berhati-hatilah ketika anda mengutuk orang dengan kalimat "TALK LESS DO MORE". Bisa jadi anda salah tempat.
Kalimat itu menjadi benar ketika persepsi dari seorang perseptor adalah "akan lebih baik sedikit teori, dengan mengedepankan praktek/aksi". Selama "aksi" dimaknai SEGALA tindakan dalam bentuk apapun, belief tersebut akan tetap benar karena masih fleksibel.
Tapi sayang sekali ada paradigma diskriminatif terhadap makna "do/aksi" dalam masyarakat. Ada yg mengutuk aksi orang dalam bentuk tulisan (yg dipersepsikannya sebagai "talk") dengan menggunakan kalimat "TALK LESS DO MORE!". Kutukan tersebut menganggap bahwa tulisan/bicara adalah "talk" dan itu sampah. Mereka tidak menyadari bahwa "do/aksi" dapat dilakukan dengan cara apapun termasuk menulis.
Aksi dilakukan sesuai dengan kapasitas dan bidangnya. Sebagai contoh (Indonesia), untuk mengontrol pemerintahan tidak harus terlibat langsung dalam area birokrasi politik. Banyak tulisan aktivis/sipil yg berisi kecaman terhadap praktik pemerintahan, yang membuat geram pemilik kursi kekuasaan, yg kemudian mendapat dukungan dari rakyat, yg membuka mata pengetahuan rakyat, yg menyegarkan intelektualitas rakyat, yg akhirnya (dengan akar tulisan itu) jadilah pergerakan rakyat yg hebat, yg menumbangkan rezim tiranik.
Seperti itulah, tulisan bisa menjadi sangat dahsyat. Karena tulisan tidak selamanya bermakna "talk" yg falsafah. Dan "do/aksi" dapat dilakukan dengan cara apa saja. Ceramah, menulis, orasi, dialog atau hanya sebatas membacot.
Maka berhati-hatilah ketika anda mengutuk orang dengan kalimat "TALK LESS DO MORE". Bisa jadi anda salah tempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Warung Kopi Kothok