Gaung nama Cepu pasti sudah terdengar kemana-mana. Saya yakin itu. Meskipun hanya bersarang di telinga kalangan tertentu. Reputasinya bisa jadi mengalahkan kabupaten yang menaunginya, Blora. Betapa tidak, kekayaan prasarananya telah banyak menjangkahi Sang Ibu.
Namun ternyata berbeda ketika hari ini kita menyaksikan kualitas jalan raya yang teraniaya. Sungguh ironis saat kita menyadari bahwa Cepu adalah kecamatan yang dielu-elukan banyak orang atas kekayaannya. Telebih lagi ketika kita mengingat bahwa banyak perusahaan berkelas bukan biasa ada di dalamnya. Kontradiktif.
Seorang teman pernah berkata “Jalan Cepu bukan berlubang-lubang, hanya berkolam-kolam”. Sampai sekarang saya ingin menertawakan pendapat itu, tapi betapa tidak sakit hatinya nanti ketika kompiler(penyusun)nya saya hujat. Karena saya yakin Cepu-pun memiliki hati dan harga diri.
Yang banyak mengganggu pikiran orang Cepu adalah, ini tanggung jawab siapa? Begitu lama kompiler ini terlihat berengsek. Yang mereka ketahui hanyalah, banyak kendaraan besar berlalu-lalang di kota ini, entah milik siapa. Kemana larinya sumbangan financial dari Cepu yang konon nilainya terbesar masuk ke APBD. Pertanyaan yang sangat lazim dilontarkan masyarakat sipil. Apa mungkin harus menunggu iuran warga agar jalan raya Cepu memenuhi syarat untuk dikatakan “layak”. Ini semacam umpan sehingga tercipta skeptis massa terhadap birokrasi, yang kemudian menjadikan follow up terhadap aspirasi selamanya terkesan absurd.
Mau dibawa kemana masa depan Cepu dengan keberengsekan kompilernya. Apakah eksponen perwakilan rakyat yang digadang-gadang mampu memperjuangkan suara yang diwakilinya mendengar jeritan semacam ini.
Alam hari ini begitu menarik, tetap mengguyurkan air di musim kemarau. Lalu kapan hujan akan turun di musim kekeringan kepercayaan ini.
Namun ternyata berbeda ketika hari ini kita menyaksikan kualitas jalan raya yang teraniaya. Sungguh ironis saat kita menyadari bahwa Cepu adalah kecamatan yang dielu-elukan banyak orang atas kekayaannya. Telebih lagi ketika kita mengingat bahwa banyak perusahaan berkelas bukan biasa ada di dalamnya. Kontradiktif.
Seorang teman pernah berkata “Jalan Cepu bukan berlubang-lubang, hanya berkolam-kolam”. Sampai sekarang saya ingin menertawakan pendapat itu, tapi betapa tidak sakit hatinya nanti ketika kompiler(penyusun)nya saya hujat. Karena saya yakin Cepu-pun memiliki hati dan harga diri.
Yang banyak mengganggu pikiran orang Cepu adalah, ini tanggung jawab siapa? Begitu lama kompiler ini terlihat berengsek. Yang mereka ketahui hanyalah, banyak kendaraan besar berlalu-lalang di kota ini, entah milik siapa. Kemana larinya sumbangan financial dari Cepu yang konon nilainya terbesar masuk ke APBD. Pertanyaan yang sangat lazim dilontarkan masyarakat sipil. Apa mungkin harus menunggu iuran warga agar jalan raya Cepu memenuhi syarat untuk dikatakan “layak”. Ini semacam umpan sehingga tercipta skeptis massa terhadap birokrasi, yang kemudian menjadikan follow up terhadap aspirasi selamanya terkesan absurd.
Mau dibawa kemana masa depan Cepu dengan keberengsekan kompilernya. Apakah eksponen perwakilan rakyat yang digadang-gadang mampu memperjuangkan suara yang diwakilinya mendengar jeritan semacam ini.
Alam hari ini begitu menarik, tetap mengguyurkan air di musim kemarau. Lalu kapan hujan akan turun di musim kekeringan kepercayaan ini.