31 Juli 2010

Sebelum Kompiler Cepu Benar-benar Menjadi Berengsek

Gaung nama Cepu pasti sudah terdengar kemana-mana. Saya yakin itu. Meskipun hanya bersarang di telinga kalangan tertentu. Reputasinya bisa jadi mengalahkan kabupaten yang menaunginya, Blora. Betapa tidak, kekayaan prasarananya telah banyak menjangkahi Sang Ibu.
Namun ternyata berbeda ketika hari ini kita menyaksikan kualitas jalan raya yang teraniaya. Sungguh ironis saat kita menyadari bahwa Cepu adalah kecamatan yang dielu-elukan banyak orang atas kekayaannya. Telebih lagi ketika kita mengingat bahwa banyak perusahaan berkelas bukan biasa ada di dalamnya. Kontradiktif.

Seorang teman pernah berkata “Jalan Cepu bukan berlubang-lubang, hanya berkolam-kolam”. Sampai sekarang saya ingin menertawakan pendapat itu, tapi betapa tidak sakit hatinya nanti ketika kompiler(penyusun)nya saya hujat. Karena saya yakin Cepu-pun memiliki hati dan harga diri.

Yang banyak mengganggu pikiran orang Cepu adalah, ini tanggung jawab siapa? Begitu lama kompiler ini terlihat berengsek. Yang mereka ketahui hanyalah, banyak kendaraan besar berlalu-lalang di kota ini, entah milik siapa. Kemana larinya sumbangan financial dari Cepu yang konon nilainya terbesar masuk ke APBD. Pertanyaan yang sangat lazim dilontarkan masyarakat sipil. Apa mungkin harus menunggu iuran warga agar jalan raya Cepu memenuhi syarat untuk dikatakan “layak”. Ini semacam umpan sehingga tercipta skeptis massa terhadap birokrasi, yang kemudian menjadikan follow up terhadap aspirasi selamanya terkesan absurd.

Mau dibawa kemana masa depan Cepu dengan keberengsekan kompilernya. Apakah eksponen perwakilan rakyat yang digadang-gadang mampu memperjuangkan suara yang diwakilinya mendengar jeritan semacam ini.

Alam hari ini begitu menarik, tetap mengguyurkan air di musim kemarau. Lalu kapan hujan akan turun di musim kekeringan kepercayaan ini.

29 Juli 2010

Menulis Bagi Saya

Entah sejak kapan saya mulai senang menulis. Menulis apa saja yang menurut saya harus ditulis. Menulis bagi saya adalah suatu ritual yang harus dilakukan ketika ada sesuatu yang mengganggu dalam benak dan tidak bisa diungkapakan pada siapapun. Kadang tulisan saya terasa lebih mudah dipahami ketimbang saya harus menceritakan unek-unek dengan lisan. Merupakan bentuk pelampiasan saya atas konsep-konsep dalam otak yang berlalu lalang.

Saat dilanda kesepian, saat itulah biasanya saya senang mencorat-coret kertas dengan kalimat-kalimat sesukanya. Lebih mudah menuliskan hal yg diawali dengan kegelisahan dan keresahan. Biasanya saya bawa perasaan saya tenggelam ke dalam isu atau kasus, semakin dalam maka emosi yg disampaikan semakin mudah diterima. Ada perasaan puas dan lega ketika tulisan itu rampung. Meskipun saya bukan ahli bahasa atau penulis handal, tapi betapa saya bangga ketika membaca tulisan-tulisan itu. Entah apa genre tulisan saya. Barangkali esai dan curhat. Hanya catatan pribadi yang boleh dibaca siapaun, tentang apapun yang mengganggu, dan dapat saya lakukan dimanapun saya mau. Tentu saja tulisan-tulisaan yang subjektif, meskipun menurut saya sudah memenuhi syarat untuk dikatakan objektif.

Gaya bahasa saya banyak dipengaruhi tulisan-tulisan penulis idola saya, film, lirik lagu, dan tutur kata orang-orang disekitar saya. Ada beberapa karya yang sangat saya kagumi sampai sekarang, yang memiliki gaya bahasa sangat khas.

Yah, menulis memang menyenangkan. Seperti teman curhat yang tidak pernah protes. Biarpun diprotes orang lain, tidak akan berpengaruh banyak. Mungkin hanya menjadi sedikit masukan yang akan mendewasakan tulisan selanjutnya

24 Juli 2010

Generasi Muda Boleh Berbicara

Saya seorang mahasiswa semester 4 di Politeknik Negeri Semarang. Pernah menulis dan dimuat di Surat Pembaca-Suara Merdeka (lihat). Dengan dimuatnya tulisan saya yang berisi sedikit wacana tentang kota saya tercinta “Cepu”, banyak sekali pengalaman menarik yang menyertainya. Banyak sms dari pecinta komunitas Jateng kepada saya, karena nomor handphone saya dicantumkan dalam identitas penulis. Beberapa hanya sekedar mengucapkan terimakasih, ada yang mengirim sms siang-malam seperti anak muda yang sedang PDKT. Saya sempat berpikir, “Suara Merdeka ini biro jodoh ya?”. Tapi ya sudahlah, setidaknya mereka membaca tulisan saya.

Ada satu hal yang menjadi kebanggaan saya. Beberapa lagi mengirim sms untuk menanyakan ini itu tentang Cepu, kemudian mengungkapkan ketertarikannya pada Cepu. Dalam batin saya berbisik, sepertinya saya sukses memberikan wacana kepada komunitas Jateng tentang kota kecil ini. Karena sesungguhnya memang inilah tujuan saya mengirimkan tulisan ke Suara Merdeka.

Hanya satu yang saya sayangkan, mengapa kebanyakan dari mereka berspekulasi bahwa penulis (saya) adalah seorang yang sudah cukup tua.
Premature Guess. Meskipun tidak secara langsung diungakapkan, tapi betapa gamblang terasa dari cara mereka mengirim pesan. Kemudian muncul pertanyaan yang mengganggu saya, apakah harus menunggu tua untuk peduli dan mencintai media seperti Suara Merdeka ini? Tidak bolehkah generasi muda memberikan wacana local dan nasional? Apakah wacana seperti ini hanya hak generasi tua? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena banyak orang tergesa-gesa mengasumsikan bahwa tulisan seperti ini hanya pantas dimiliki generasi tua.



Akhirnya saya tegaskan kepada mereka bahwa saya adalah seorang mahasiswa
semester 4 di Politeknik Negeri Semarang. Batin saya, “Rasakan! Ternyata anak muda negeri ini tidak se-cuek yang ada dipikiran banyak orang”. Entah apa yang kemudian ada dalam benak mereka. Harapan saya, agar mereka turut serta memotivasi anak muda negeri ini peduli dengan negerinya.
Generasi muda bukan lagi “boleh” berbicara, tapi “harus” berbicara.

22 Juli 2010

Manusia Malam

Embun lembut mesra memeluk gelisahku
Menjelma bagai ombak menghantam fantasiku
Malam tetap kelam menjanjikan pelita
Serdadu surga pun jatuh bercucuran
Pilu mengiris, menyayat, mencabik ornamen mimpi abadi
Sebentar sayup sebentar gelegar
Sunyi
Tersandar tekad nan kukuh bak mercusuar
Berpijak bara api yang telah beku
Kuamini nyanyian yang terdengar sesekali
Kidung manja seorang hamba
Meraba hari biru lorong misteri
Hingga tak sadar lagi
Sahut menyahut kumandang klasik seperti mengusik
Tak kutentang meski tiada kehangatan
Pijar pelita telah nyata
Melankoli sepi bersambut gaduh
Riuh kehidupan

09 Juli 2010

Semuanya Ada di Kota Cepu

Aktifitas ekonomi begitu hidup, begitulah pemandangan yang terlihat ketika anda menjejakkan kaki di Cepu. Sebuah kecamatan kecil yang terletak di pinggiran kabupaten Blora, Jawa Tengah. Secara geografis berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Timur. Hampir 24 jam kehidupan masyarakat Cepu berlalu-lalang meramaikan seluruh sudut kota kecil ini. Seperti shift kerja yang tidak terjadwal tapi teratur. Pusat keramaian berada di semua titik transaksi jual beli atau pasar. Mulai dari pasar tradisional sampai Taman Sewu Lampu yang selalu membuat Cepu menyala tiap malam tiba.

Perkembangannya sangat pesat. Investor-investor terus berdatangan untuk menanamkan modal. Kualitas infrastruktur yang bisa dikatakan lebih dari memadai jika dilihat lagi bahwa statusnya adalah sebuah kecamatan di dalam kabupaten yang sepi. Inilah lahan subur untuk menebarkan benih. Sesuatu yang sangat menjajikan dan begitu nyata.

Salah satu perusahaan yang tergiur kemolekan Cepu adalah Exxon Mobile Ltd. Perusahaan besar yang ikut andil dalam pengelolaan sumber daya alam Cepu berupa minyak bumi. Perusahaan berkelas dunia ini telah membuktikan kekayaan alam Cepu dan segala potensi yang ada di dalamnya.

Sekali lagi, Cepu selalu mengundang decak kagum orang-orang yang pertama kali datang ke kota kecil ini. Setelah melakukan perjalanan darat melewati kecamatan-kecamatan lain di sekitar Cepu yang tak sehidup kehidupan Cepu, barulah mereka menyadari bahwa ada sejuta pesona di tengah kampung-kampung.

Hampir semua yang biasa kita lihat di kota besar, ada disini. Lapangan terbang yang terletak di perbatasan Kapuan-Ngloram, terminal di perbatasan Tambakromo-Balun, stasiun di daerah Balun Pasar Jagung, pasar-pasar tradisional, plaza. Ada juga taman kota yang menjadi pusat aktifitas terkini masyarakat Cepu. Disinilah potret kehidupan Cepu yang sesunggunhya hari ini. Siang malam selalu dihidupi kegiatan-kegiatan penduduk dari semua kalangan. Terutama pada malam hari, ada ratusan tenda warung kopi kothok tersebar di kota ini, dan terpusat di Taman Sewu Lampu. Berbagai macam usaha digelar disana. Layaknya hidup, semua digelar untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Sungguh kota yang serba ada. Bahkan tersedia juga tempat orang-orang berwisata nafsu. Ya, Cepu-pun memiliki tempat prostitusi yang dikenal dengan sebutan Komplek Nglebok, dan satu lagi di perbatasan Cepu-Sambong yaitu Sumber Agung. Cepu juga dilewati sungai Bengawan Solo yang mendukung kegiatan agraria masyarakatnya. Ada jembatan menyeberangi sungai ini yang panjangnya lebih dari 200m. Bahkan di kota Semarang-pun tak ada. Cepu juga memiliki paru-parunya sendiri, yaitu hutan jati. Aset mahal yang langka.

Inilah Cepu, bak kota impian dengan sejuta pesona, barang kali hanya kurang dipoles. Namun, perlahan tapi pasti kota ini akan menjadi idola kaum urban. Biarlah sekarang beraroma udik, but there’s no tell what may happen. Cahaya timur Cepu selalu nampak lebih cerah. Kota yang masih pagi dan sedang beranjak dewasa. Teruslah berkarya.

Dimuat di Koran Nasional, Suara Merdeka edisi Minggu 18 Juli 2010: (Lihat)


Related Posts:
  1. Generasi Muda Boleh Berbicara (lihat)
  2. Sebelum Kompiler Cepu Benar-benar Menjadi Berengsek (lihat)

05 Juli 2010

TALK LESS DO MORE, It is Better ?

Talk less do more, it is better. Bagi saya itu benar untuk konteks tertentu atau dalam dimensi yg tepat.

Kalimat itu menjadi benar ketika persepsi dari seorang perseptor adalah "akan lebih baik sedikit teori, dengan mengedepankan praktek/aksi". Selama "aksi" dimaknai SEGALA tindakan dalam bentuk apapun, belief tersebut akan tetap benar karena masih fleksibel.

Tapi sayang sekali ada paradigma diskriminatif terhadap makna "do/aksi" dalam masyarakat. Ada yg mengutuk aksi orang dalam bentuk tulisan (yg dipersepsikannya sebagai "talk") dengan menggunakan kalimat "TALK LESS DO MORE!". Kutukan tersebut menganggap bahwa tulisan/bicara adalah "talk" dan itu sampah. Mereka tidak menyadari bahwa "do/aksi" dapat dilakukan dengan cara apapun termasuk menulis.

Aksi dilakukan sesuai dengan kapasitas dan bidangnya. Sebagai contoh (Indonesia), untuk mengontrol pemerintahan tidak harus terlibat langsung dalam area birokrasi politik. Banyak tulisan aktivis/sipil yg berisi kecaman terhadap praktik pemerintahan, yang membuat geram pemilik kursi kekuasaan, yg kemudian mendapat dukungan dari rakyat, yg membuka mata pengetahuan rakyat, yg menyegarkan intelektualitas rakyat, yg akhirnya (dengan akar tulisan itu) jadilah pergerakan rakyat yg hebat, yg menumbangkan rezim tiranik.

Seperti itulah, tulisan bisa menjadi sangat dahsyat. Karena tulisan tidak selamanya bermakna "talk" yg falsafah. Dan "do/aksi" dapat dilakukan dengan cara apa saja. Ceramah, menulis, orasi, dialog atau hanya sebatas membacot.

Maka berhati-hatilah ketika anda mengutuk orang dengan kalimat "TALK LESS DO MORE". Bisa jadi anda salah tempat.