24 Agustus 2010

Kopi Kothok

Jangan sekali-kali mengaku sebagai orang Cepu jika tidak mengenal kopi yang satu ini. Kopi Kothok. Orang-orang Cepu yakin kothok adalah kopi khas kota minyak ini, meskipun di berbagai daerah sekarang juga populer.
*

Sebenarnya tidak penting menelusuri dari mana asal-usul kopi kothok. Tapi sekali lagi, sesuatu yang tidak penting terkadang sangat menarik untuk direnungi. Biasanya orang resah memang begitu, menenggelamkan keingintahuannya ke dalam hal-hal yang menurut kebanyakan orang bukan sesuatu yang perlu dipikirkan. Sampai harus melibatkan emosinya bercampur aduk di dalam kuali yang tidak diperhatikan banyak orang. Saya senang menyebut orang semacam ini sebagai manusia pemikir. Dari sinilah nanti terlahir wacana dari tempat yang bernama nurani. Orisinilitas insting kemanusiaan secara spontan akan menjadi pangeran di kerajaan alam sadarnya. Tapi mungkin kebiasaan seperti ini hanya dimiliki pelamun-pelamun kesepian. Yang di dalam otaknya hidup laba-laba skeptis. (Skeptis, barangkali itulah syarat mutlak menjadi seorang pemikir). Laba-laba ini membangun sarang-sarang kasus, dan ketika sang pemikir terjebak ke dalam sebuah sarang, maka dia akan menelusuri sarang jaring itu. Jaringannya bisa bergelayut dari mana saja, dan dengan itulah dia dapat menemukan apa saja yang direkati jaring kasus tersebut.


*
Tapi saya tidak ingin menelusuri dari mana minuman ini berasal. Kembali ke kopi kothok.
Baiklah, kopi kothok. Secara dimensi visual, wedang (Jawa: minuman yang disajikan panas-panas atau hangat) ini tidak terlalu istimewa. Berwarna hitam dan terlihat panas. Tapi simpan pendapat anda sampai lidah dan atap mulut anda menahan hangatnya si hitam. Entah rasa apa, saya sendiri selalu gagal mendefinisikan. Mungkin bagi lidah awam (yang tidak biasa minum kopi), rasanya tidak lebih dari kopi seduh kebanyakan. Manis, pahit, dan hangat. Tapi jika mau meresapi sejenak, berbeda sekali.

Yang membedakan kopi kothok dengan kopi seduh biasa hanyalah pada proses pembuatannya. Kalau biasanya kopi dibuat dengan menuangkan air panas ke dalam gelas yang berisi gula dan bubuk kopi kemudian disajikan, tidak demikian dengan kothok. Kopi kothok dibuat dengan merebus gula, bubuk kopi dan air dalam satu panci bersamaan hingga mendidih. Terang saja rasanya berbeda.

Pengalaman menarik tentang kopi kothok ini sering saya jumpai. Beberapa orang di sekitar saya biasanya kembung jika meminum kopi seduh. Aneh sekali. Entahlah, barangkali terlalu sering menikmati kopi dengan dikothok. Hingga saat ini saya tidak mengetahui penyebab pastinya secara ilmiah. Tidak pernah ada penelitian tentang ini. Karena memang bukan hal yang penting untuk diteliti.

Orang tua saya memiliki seorang teman asli Madiun yang ditugaskan di Cepu. Pada awal kedatangannya ke kota minyak ini beliau dijamu kopi kothok. Spontan beliau heran dengan rasa wedang tersebut. Terciptalah forum tanya jawab tentang kopi kothok hingga terjadi demo masak dadakan, meskipun sekedar memasak kopi. Beliau mengaku baru kali itu menjumpai kopi yang demikian. Selang beberapa bulan, liburan tiba dan beliau kembali ke kota asalnya. Madiun, yang terkenal dengan Persaudaraan Setia Hati Teratai Putih. Organisasi pencak silat yang cukup besar, sangat besar malah. Tentu saja pendekar-pendekar itu senang lek-lekan (begadang). Ketika disuguhi kopi seduh satu teko, beliau tidak lantas meminumnya. Malah membawa teko tersebut ke dapur dan menuangkan ke dalam panci, kemudian merebusnya. Yang dulu sebagai murid les masak dadakan sekarang menjadi guru masak. Dan ketika kopi kothok disuguhkan, lidah-lidah pendekar SH tidak dapat berbohong, inilah kopi sejati. Kabarnya sampai sekarang di sana jika membuat kopi selalu dikothok.

Di Cepu sendiri kopi kothok identik dengan warung tenda di pinggir jalan. Betapa tidak, memang ada puluhan tenda cangkrukan (tongkrongan) yang menu utamanya kopi kothok tersebar di kota kecil ini. Pusatnya berada di taman kota “Taman Sewu Lampu”. Jadi jangan heran jika anda berkeliling kota Cepu pada malam hari, anda akan menjumpai warung kopi kothok sepanjang jalan. Menarik sekali. Pemandangan yang hanya pernah saya temukan di Cepu.

Bagi yang senang merokok, biasanya setelah menikmati wedang ini, ampas kopi akan dileletkan di batang rokok. Mereka mengatakan bahwa ada kenikmatan tersendiri menghisap rokok yang berbatik ampas kopi. Entahlah, saya bukan perokok.

Bagi saya kopi kothok adalah simbol sipil yang sesungguhnya. Meskipun saya yakin non-sipil kota Cepu-pun mencintai kopi yang satu ini. Tapi mereka harus bersedia disebut sipil jika mengaku penggemar kopi kothok. Karena sesungguhnya mereka tanpa gelar/jabatan/pangkat/titel pun adalah sipil. Terlebih dijajakan di warung tenda pinggir jalan. Warung kopi adalah tempat jelata berbagi cerita. Berkumpulnya gosip orang Cepu. Bahkan yg tidak pernah diwacanakan dalam event-event milik wakil rakyat. Curahan hati rakyat yg sesungguhnya. Gosip politik, sosial, budaya, seni, cinta juga ada. Semua bisa bermuara di sini, di Warung Kopi Kothok.

Betapa uniknya kehidupan kota Cepu. Inilah salah satu kompiler pluralitas Indonesia.

Baca juga: Asal Kopi Kothok

5 komentar:

  1. papa saya juga orang cepu dan papa saya juga sekarang sedang bergelimpung di bisnis copy khotok....

    BalasHapus
  2. jembut kopy kothok ki soko blora cuk....!!! cepu ki kcmatan....cuk...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Really? Tapi iya, Cepu memang kecamatan kecil yang ada di dalam Blora. Sayang nama Cepu terlanjur lebih besar ketimbang Blora. Padahal ya sama saja.

      Hapus
  3. Kopi kothok memang memiliki rasa dan sensai yang khas gan, baru sekali mencoba membuat ketagihan untuk bisa coba lagi

    BalasHapus

Warung Kopi Kothok