03 Januari 2015

Terlalu

Kita patut bangga sebagai Indonesia. Kenapa? Karena cuma di Indonesia, seorang raja ingin ikut mencalonkan diri menjadi presiden. Dialah Raja Dangdut Rhoma Irama.

Seorang yang tentu saja telah bertahta di sebuah kerajaan (dangdut), masih ingin berebut kuasa di negara bernama Indonesia. Hebat bukan? Negara di tenggara Asia ini jadi rebutan.

Baik, karena sudah lalu, tak perlu panjang berbincang tentang peristiwa mencengangkan itu. Tentang Pemilu. Begitu.

Masih ada segudang hal yang bisa dibanggakan. Misalnya saja perihal kuliner khas Nusantara. Ada banyak memang, tapi izinkanlah saya menyebut satu nama makanan yang sudah mendunia. Nasi goreng.

Andai sempat menanyakan pada para turis manca negara apa makanan Indonesia yang disukainya, saya berani bertaruh nasi goreng akan menjadi yang paling populer.

Kita bisa melakukan random sampling. Ambillah testimoni pesohor dunia seperti presiden Amerika Serikat, Barack Obama, yang mengaku menyukai nasi goreng. Kemudian anggap saja dia sudah cukup mewakili pendapat sebagian besar warga Amerika. Atau boleh juga mewakili pendapat orang di seluruh dunia. Karena Amerika ini adidaya. Pendapatnya dihargai mahal.

Tetapi apakah mereka tahu apa di balik makanan itu? Barangkali akan cukup mengejutkan, tapi memang faktanya di kebanyakan masyarakat kita... Nasi goreng adalah masakan paling ramah lingkungan sedunia. Hasil daur ulang makanan sisa-tak habis semalam.

Jika membaca ini, entah mereka masih berhasrat pada nasi goreng atau tidak. Kecuali, mereka mendapatkannya di hotel bintang lima. Itu beda. Hampir bisa dipastikan tak ada daur ulang di sana.

Namun saya mengamini pendapat Rhenald Kasali bahwa tak ada nasi goreng enak di hotel. Sungguh. Jadi kalau ada wisatawan asing merasa telah memakan nasi goreng paling enak di hotel berbintang, saya yakin lidahnya keliru.

Masakan nusantara berada pada performa terbaik ketika disajikan di habitatnya. Angkringan di trotoar Jogja, lumpia di Jalan Mataram Semarang, kerak telor dijajakan keliling Jakarta, cimol di jalanan Bandung, dan sebagainya.

Di hotel tak ada sajian makanan se-vulgar itu. Kebersihannya dijaga, tak boleh dekat asap kendaraan atau debu, jauh dari penguat rasa, pelaksanaan SOP-nya diawasi demikian ketat, bla-bla-bla.

Sedangkan paten kuliner kita ini murah, ramai, dan mesti spicy. Maka perlu hemat biaya buat sewa tempat, mudah dijangkau, dan yang paling penting rasanya kuat. Kalau-kalau dirasa kurang menyentuh lidah, beberapa punggawa dapur kita takkan sungkan menumpahkan perasa makanan.

Ditambah lagi orang kita suka eman. Apa padanan eman yang tepat dalam bahasa Indonesia? Sayang. Sayang kalau makanan dibuang, biarpun sisa. Eman. Jadilah masakan lezat itu berisi seabrek perasa, campuran makanan sisa, kadang dihinggapi aneka rupa zat. Entah dari lalat, debu, asap kendaraan, atau apa saja.

Tapi mohon maaf, itu bukan stereotip kuliner nusantara. Cuma sebagian kecil saja, yang kebetulan agak ceroboh. Poin saya... orang kita ini kreatif-karena eman.

Bukti lain-selain kuliner, ban bocor pun ditambal. Tak banyak negara yang menambal ban boconya. Bukan soal, yang penting tidak ditambal pakai nasi sisa semalam. Biar eman sekalipun. Karena menurut Bang Haji itu termasuk kategori, "TERLALU!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Kopi Kothok