20 Agustus 2010

Sehari Sebelum HUT RI

surat

Kawan, beberapa hari yg lalu (tepatnya 16-8-2010) aku lihat pemandangan tidak kalah mengiris hati dengan yg dialami Gie ketika menemukan seorang (bukan pengemis) kelaparan yg tengah memakan kulit mangga. Saat itu 10-12-1959 dan terjadi hanya 2km dari istana Negara, dimana Soekarno “Sang Presiden” pasti berkecukupan di sana. Dimana para menteri biasa berpesta dengan kemewahan pastinya. Anjing peliharaannya saja menghabiskan Rp150rb perbulan, lebih besar dari gaji perwira manapun saat itu. Bisa dibayangkan betapa makmurnya mereka manusia-manusia yg hidup di dalam pagar istana.

Sore itu aku dan seorang teman (Ardan) sedang dalam perjalanan menuju toko kacamata, sekalian saja ngabuburit karena saat itu bulan puasa. Ardan yg setir motor, sampai di tengah jalan aku lihat dengan sangat jelas seorang paruh baya mengumpulkan kulit semangka. Dia tetap berdiri dan sedikit membungkuk untuk mengambil kulit-kulit itu di pinggir jalan, dengan menyandarkan sepedanya di tubuh. Kebetulan orang tersebut di pinggir ruas kanan jalan, jadi jelas sekali apa yg aku saksikan.

Sambil terus berlalu aku hanya berusaha menduga positif apa yg dilakukan orang tersebut. Tapi gagal, tidak menemukan apa positifnya, hanya teringat “ini bulan puasa dan sebentar lagi waktu berbuka”. Bisa ditebak apa yg ada dipikranku saat itu. Kemudian terngiang adegan Gie memberikan uang kepada pemakan kulit mangga. Aku sempat berpikir untuk memberikan sebagian uang di dalam dompet kepada pria paruh baya tersebut, tapi entahlah keraguan macam apa waktu itu.

Sedangkan Ardan tetap menyetir motor menuju toko kacamata, seketika terlupa dengan adegan di pinggir jalan tadi. Kami buru-buru disuguhi adegan baru yg konyol, atau mungkin kami-lah actor kekonyolan itu. Saat itu lampu merah menghadang, otomatis Ardan menghentikan laju motor dan menunggu sampai lampu hijau menyala, karena memang begitu aturannya. Kebetulan motor kami kendaraan paling depan dari arah kami. Tapi konyol sekali, kami seperti orang bodoh yg berhenti di tengah jalan, sedang kendaraan-kendaraan dari arah kami dengan santai mendahului kami, atau tepatnya menerobos lampu merah. Saat itu bolehlah aku sedikit kesal “kalau yg patuh peraturan Indonesia bukan warga Indonesia, siapa lagi”. Ya setidaknya patuh peraturan yg menyangkut hajat orang banyak lah, peraturan yang ringan untuk dikerjakan. Semua kendaraan dari ke-empat arah melaju terus, kecuali beberapa kendaraan roda 4 (mungkin hanya 2) yg berhenti, dan itupun dari arah yg berlawanan dengan arah kami. Sempurna, pasti konyol sekali kami di mata mereka.

Ketika lampu sudah hijau, langsung saja aku teringat kembali pada pria paruh baya tadi. Hingga hari ini aku menyesal, kenapa tidak menghampirinya. Setidaknya bisa tahu apa tujuannya, barangkali bisa membantu. Ah Indonesia sudah setua ini merdeka, 65 tahun. Masih saja dijumpai persoalan klasik yg mengganggu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tapi sebagian beranggapan kita hidup di neraka. Tetap sengsara.

1 komentar:

  1. THr adalah salah satu yang hal yang paling ditunggu,thanks gan sudah berbagi artikel menarik seperti yang di atas.

    BalasHapus

Warung Kopi Kothok