15 Januari 2014

Emut

Manusia kenal kegiatan mengemut pasti sudah lama. Tak usah jauh-jauh, mamalia lain yang tak ikut urun rembug dalam peradaban saja sudah pandai ngemut sejak lahir ke dunia. Apalagi manusia. Tak perlu diajari, mulutnya tahu harus ke mana.

Ngemut ini salah satu aktifitas paling menyenangkan bagi sebagian orang. Ada kenikmatan tersendiri, katanya. Kalau tidak percaya, tanya saja pada pengantin baru. Mereka bahagia betul soal emut-mengemut.

Lho, tunggu dulu. Suami ngemut sendok yang disuapkan si isteri. Begitu juga sebaliknya. Para pasangan ini mulai berani saling suap di depan umum. Di restoran, bangku taman, bahkan di depan toko. Seolah gemar sekali mendzolimi kaum jomblo. Padahal tidak perlu sampai diemut. Tapi sekali lagi, ada kenikmatan tersendiri.

Beberapa waktu lalu saya membaca berita, bahwa prevalensi perokok di Indonesia tertinggi ke dua di dunia. Setelah Timor Leste. Nah ini masih soal per-emut-an tadi.

Saya tidak heran. Harga rokok di Indonesia murah, semua orang boleh beli, bocah SD juga bisa, kebun tembakau di mana-mana, cukai bermafia (barangkali), dan seterusnya - jika ada.

Berbeda dengan negara-negara maju. Untuk beli rokok saja harus orang dewasa, harganya tinggi. Sebungkus bisa sampai 10 dolar. Dibungkusnya bergambar paru-paru perokok yang bobrok. Pokoknya tidak semudah di negara kita, semua orang bisa ngemut.

Kabarnya, saking mudah dan murahnya harga rokok di negara kita, bule Australia suka bawa oleh-oleh rokok dari Indonesia. Bisa jadi tujuan mereka melancong ke Indonesia ya cuma buat ngemut. Seperti wasit yang kita impor dari sana, sesampainya di tanah air ya cuma ngemut peluit.

Sungguh ngemut ini bukan perkara sederhana. Lihat saja Kenneth Bruce Gorelick (atau lebih dikenal Kenny G) yang pipinya kempot kembang-kempis buat sejam ngemut saxophone di atas panggung. Tapi, sekali lagi, tadi, ngemut ternyata mendatangkan kenikmatan tersendiri. Begitu, kabarnya.

"Kamu jadi Duta Anti-Tembakau aja, Mas!" Kata seorang teman. Kalau saya ya mau-mau saja. Tapi yang mengangkat itu apa ada?

Sebelumnya, biar saya luruskan supaya tidak salah paham. Saya tidak pernah ada masalah dengan para perokok. Lebih dari separuh teman pria saya merokok. Dan selama ini kami baik-baik saja. Paling saya cuma batuk-batuk kecil kalau kebetulan asap rokok para sahabat itu mampir ke muka. Selebihnya, cangkir kopi yang lebih penting. Jadi, saya tidak anti-rokok. Hanya saya memang bukan perokok. Kenapa? Karena tidak bakat kena asap rokok.

Saya tahu, ada ribuan petani tembakau di daerah sana. Ada ribuan lapangan pekerjaan di dalam sana. Ada miliaran dolar Amerika di cukai sana. Tapi ternyata, perlu diketahui (FYI saja), ada ratusan miliar dolar Amerika biaya berobatnya. Lebih banyak. Itu menurut laporan sebuah instansi.

Kalau memang begitu, ada baiknya dipertimbangkan buat dikurangi. Toh, mengendalikan pengemutan ini bisa dilakukan. Kita adopsi saja dari emut-mengemut di kalangan pengantin baru. Asal tidak mudah, tidak murah, akhirnya tidak sembarangan bibir bisa mengemut.

Tenang saja, ada banyak yang bisa diemut selain rokok. Lolipop, misalnya. Atau kalau bokek, bisa emut jari. Saya tidak sarankan ngemut sandal. Sekian.

1 komentar:

Warung Kopi Kothok