26 Maret 2011

CEPY a.k.a. ASEP NUGROHO

Seperti yang saya ceritakan pada orang-orang, arti Asep Nugroho masih "Anugerah 1 (satu) September". Karena saya memang dilahirkan pada hari pertama di bulan September, tepatnya tahun 1990.

Mestinya orang bertanya kenapa ada dua kata dengan karakter kultural berbeda pada nama saya. Asep dan Nugroho. Setidaknya curiga, kenapa nama khas Sunda berdampingan dengan ciri khas nama Jawa yang banyak menggunakan bunyi "O". Mungkin selanjutnya mereka akan menjawab pertanyaan mereka sendiri dengan berspekulasi "pasti bapaknya Jawa dan ibunya Sunda, atau bapaknya yang Jawa dan ibunya yang Sunda". Sayang sekali dugaan itu belum benar -atau memang salah. Karena Bapak saya asli Cepu dan Ibu saya asli Pati. Dua daerah di bagian timur Jawa Tengah.

Asep Nugroho terdiri dari tiga unsur penyusun. A, Sep, dan Nugroho. Saya menemukan jawaban ini dari orang tua saya. A adalah huruf pertama dalam alfabet. Dengan kata lain A merupakan huruf ke-1 (satu). Jadi, A artinya 1 (satu). Sep kependekan dari nama bulan kelahiran saya, September. Dan Nugroho berarti Anugerah. Jika disusun menjadi satu kesatuan makna, Asep Nugroho artinya Anugerah 1 (satu) September. Maksudnya, saya merupakan anugerah yang turun/lahir pada 1 September. Begitu bunyinya.

Tempat lahir saya adalah Blora. Begitu menurut Akta Kelahiran, KTP, SIM, KTM, dan kartu identitas lain yang saya miliki. Tapi menurut orang tua saya, saya dilahirkan di Rumah Sakit. Tepatnya RSU Cepu. Cepu adalah bagian kecil dari Blora, tapi menjadi pusat perekonomian terbesar di Blora. Seperti Bapak saya, saya juga dibesarkan di Blora.

Sewaktu kecil dulu, orang-orang memanggil saya Asep. Keluarga, tetangga, teman-teman SD. Memasuki SMP mulai ada satu-dua orang yang memanggil Acep dan Encep. Sampai saya berseragam putih abu-abu, panggilan saya semakin banyak. Ada yang memanggil Acep, Atep, Cecep, Cepy, Nugroz. Malah ada yang memanggil saya Pesha. Plesetan dari nama vokalis Ungu Band "Pasha". Wajar saja, karena kita memang sebelas-dua belas. Pesha berasal dari kata Pesa, kebalikan ejaan dari Asep. Meskipun paling banyak tetap memanggil Asep. Ya, di Cepu dan di lingkungan keluarga saya dikenal dengan nama Asep.

Pertengahan 2008 saya memasuki atmosfer baru. Perguruan Tinggi. Terdengar angker -meminjam istilah Prie GS. Jauh dari Cepu. Semarang. Sebelum mencicipi aroma perkuliahan yang angker itu, diadakan Latihan Dasar Kedisiplinan (LDK) dan Wawasan Almamater dan Orientasi Akademik (WaRNA). Di kampus lain dikenal dengan Ospek. 3 (tiga) hari untuk LDK, dan 3 (tiga) hari untuk WaRNA. 6 (hari) yang mengesankan ini, kami (maba: mahasiswa baru) diwajibkan mengenakan atribut-atribut khusus. Termasuk co-card yang menunjukkan nama panggilan maba. Terdiri dari 2 (dua) huruf konsonan dan 2 (dua) huruf vokal. Awalnya saya ragu akan menuliskan nama panggilan apa pada co-card saya. Tapi akhirnya saya ambil saja satu dari sekian panggilan muda saya yang banyak dan tidak penting itu. Cepy. Kedengarannya enak. Selain karena mudah dilafalkan dan diingat, panggilan yang saya tawarkan sekaligus memberi kesan pada kawan-kawan baru agar ingat pula tanah kelahiran saya. Cepu. Ya, Cepy dari Cepu, Cepy Cepu.

Tidakkah "Cepy" terdiri dari 3 huruf konsonan dan 1 huruf vokal? Entahlah, nyatanya tidak mendapat sanksi dari senior yang sok galak itu.

Saya percaya, nama Asep tidak kalah mudah diingat ketimbang Cepy -karena mungkin cukup pasaran. Tapi itulah, identitas tanah Cepu juga harus melekat.

Akhirnya, sekarang saya lebih dikenal dengan nama Cepy. Dan apapun panggilan saya, Anugerah 1 (satu) September tetaplah saya.

18 Maret 2011

Gagasan

Saya curiga dengan cerpen Putu Wijaya yg berjudul "Gagasan". Pertama, karena nama tokoh utama yg dipakai adalah "Gunawan". Awalnya memang biasa-biasa saja, tapi akhirnya menjadi tanda tanya besar setelah membaca kalimat dari lawan bicara Gunawan yg berkata
"Oke siapa pun kamu, budayawan, politikus, pemikir, reformis, pejuang hak asasi manusia, pelopor demokrasi, CIA, nabi atau manusia hipokrit, kamu tidak berhak pergi begitu saja setelah bikin Catatan Pinggir!"

Orang yg pernah membaca Majalah Tempo mestinya menyimpan tanya. Di halaman terakhir selalu ada kolom Catatan Pinggir yg diisi oleh seorang bernama Goenawan Mohamad. Berhubungan kah? Mungkin sekali. Alasan ke-dua sudah sangat bisa menjelaskan pada kita kemana arah cerpen ini.

Menarik, penulis menulis tentang penulis. Dikemas dengan apik. Meskipun saya yakin ada cerita lain yg menjadi alasan Putu Wijaya menulis cerita pendek ini. Anda harus membaca sendiri. Memukau, seperti tulisan-tulisan Putu Wijaya yg lain.

02 Maret 2011

250

Ooooh My **%$*#!!!*

Entah semalam mimpi apa anakmu ini, Mak. Dapet kabar IP 2.50! Cuma inget tadi pagi nonton infotainment yg ngabarin "Sinetron Islam KTP Merayakan episode ke-250-nya".
Mbuh ono hubungane po rak!


Hiks.. KHS-nya gambar Goerge Bush salto kali ya ntar. Ya sudahlah, tinggal satu semester lagi kesempatan memperbaiki IPK. Sementara sekarang masih 2.755, jadi butuh 3.245 biar IPK-nya 3.00.
Tapi kalau nanti masih tidak cukup, ya terpaksa ikut SP


Sisa semester ini saatnya mengucapkan sampai jumpa bagi organisasi, kesibukan gak jelas, nongkrong, maen, ngopi, dll.
Saya rasa gak bakal cukup kalau disebutin atu-atu


Motivasinya sekarang sudah jelas. Tidak buram seperti dulu lagi. Keep fight!
Emang dulu fight?
Haha banyak bacot lu, cong!

01 Maret 2011

Hebat Bin Ajaib

Inilah Indonesia, berita apa saja bisa menjadi heboh luar biasa. Kunci utamanya satu, kelihaian pers meracik bumbu. Mau mengorbitkan penyanyi lipsing dengan video amatir, sampai sepasang artis yg masih tidak mempunyai keturunan meskipun telah mencoba gaya baru setiap malam, semua bisa. Tinggal gosok. Musikus bernama Ahmad Dhani pun jenggotnya benar-benar habis dibakar sampai plontos.

Ada dua kemungkinan yg bisa terjadi dari kondisi ini. Opini publik terbangun positif, atau opini publik terbangun negatif. Bisa karena cara media yg menyajikan sangat tendensius, atau tipikal publik itu sendiri. Masyarakat dengan intelektualitas menengah ke bawah cenderung menelan mentah-mentah sajian media. Tapi masyarakat dengan intelektualitas menengah ke atas bisa menyortir dan menyimpulkan sendiri tanpa doktrin tertentu. Jadi akan sangat gawat kalau sajian pers yg mempunyai "agenda" dinikmati masyarakat dengan intelektualitas menengah ke bawah.

Tapi hal ini juga bisa sangat menguntungkan -saat agenda itu positif. Pers akan berperan besar dalam menciptakan integritas nasional. Persoalan PSSI misalnya. Jelas sekali pers menginginkan kita membuka mata supaya sadar terhadap borok-borok PSSI. Al-hasil, MARI KEPALKAN TANGAN DAN TUNTUT REVOLUSI PSSI AGAR LEBIH BAIK! MERDEKA!

Semangat amat. Sebentar, masih atur napas. Hhhh.. Ya, sudah terdengar di seluruh sudut Negeri

PSSI bilang mereka takut mendapat sanksi FIFA kalau pemerintah melakukan intervensi. Nah, permasalahan yg sekarang dihadapi tidak cuma melibatkan masyarakat persepakbolaan, tapi sudah menyedot perhatian masyarakat bangsa. Negara Indonesia. FIFA bisa apa? Apa bisa mereka mengcover aspirasi masyarakat negara yg dikenal demokratis ini. Follow up apa yg ditawarkan. Sudah pasti linglung. Kalau yg bersuara masyarakat Indonesia, ya pemerintah Indonesia yg mengambil alih. Jangan sampai kedaulatan RI tumpul bagi organisasi/lembaga yg ada di dalamnya. Karena persoalannya sudah merambah ke masyarakat negara. Karena persoalannya tidak sesederhana politisasi persepakbolaan. Kalau PSSI mau menjadi milik FIFA sepenuhnya, ya sudah jangan meminta dana dari APBN, APBD, dan semacamnya. Kalau masih mau didanai, dengarkan yg mendanai. Dengarkan suara pemerintah yg digalang dari suara rakyat. Dana yg digunakan juga dana rakyat kan. Jangan mainkan uang rakyat.

Tak terasa masyarakat kita sudah sekritis ini. Atau bubarkan saja PSSI, kemudian bentuk organisasi baru untuk mewadahi persepakbolaan kita macam LPI. Bukankah memang ini yg diinginkan rakyat Indonesia?

Duh, pembicaraan dari mana ke mana ini tadi. Galau...galau...galau...gak konsen...dah