Saya, juga kebanyakan dari kita, mengenal agama dari orang tua kita. Beriman karena diwarisi leluhur kita. Lalu kita merasa paling benar, yang lain salah kaprah.
Kita mungkin salah sangka.
Tuhan yang kita kenal sejak awal amat personal. Semacam obyek yang berusaha kita deskripsikan agar menjadi nyata melalui puluhan sifat dan nama.
Sebagai makhluk kita salah sangka. Menghendaki yang tak terjangkau (bahkan oleh akal) mendekati keterbatasan pikir manusia. Maka para ateispun mungkin salah sangka.
Ateis menggugat kesalahsangkaan kaum beragama. Bukan hendak mengembalikan iman pada Tuhan yang transenden, melainkan menuntut pembuktian rasional dari suatu keberadaan. Lalu, barangkali kita saling salah sangka.
Beberapa monoteis menghendaki setiap orang taat pada satu ajaran. Menurutnya hidup di dunia ini semacam kontrak, di mana manusia harus ikut aturan main. Tak masalah ikut aturan main kelompok mana. Yang penting teis.
Monoteis di atas mungkin salah sangka pula. Aturan yang dikehendakinya seperti tersurat dalam kitab suci. Kitab suci yang dimaksud adalah kitab-kitab dalam tradisi Ibrahimi, kitab dalam agama samawi, kitab dogma yang turun melalui wahyu ilahi.
Maka, monoteis tadi tak memberi ruang untuk ajaran lain seperti Buddha dan sejenisnya. Tak berlaku bagi pencerahan yang lahir dari penyadaran dalam diri.
Kalaupun dunia ini kontrak di mana kita harus mengikuti aturan main, seharusnya konteks yang digunakan lebih bebas dan luas. Bukan agama dengan kitab sucinya yang terbatas.
Terbatas karena sudah tak ada revisi, berhenti. Tak ada lagi addendum atau koreksi. Mandheg. Sedangkan zaman terus bergerak. Meski beberapa agamawan memang menawarkan tafsir yang dinamis.
Agama termasuk kategori norma. Jika hendak berlaku adil, norma lain menyediakan aturan main. Norma kesopanan, norma kesusilaan, bahkan norma hukum yang senantiasa diracik supaya kontekstual.
Melihat dunia dalam kerangka beragama mungkin akan sumpek. Terlalu banyak perbedaan. Terlalu banyak dosa. Tapi melihat dunia melalui jendela norma bisa jadi akan lebih lega. Meletakkan perkara pada konteksnya, pada tempatnya, pada waktunya.
Tantangan bagi agamawan di manapun berada adalah menerjemahkan ajaran yang lahir dari masa lalu dan suatu tempat tertentu, agar menjadi relevan di mana dan kapan dibutuhkan.
Sedangkan tantangan menjadi manusia adalah hidup sebaik-baiknya dengan liyan, dengan sesama.
Mungkin Tuhan hanya menciptakan purwarupa seisi semesta. Kemudian alam bekerja sendiri hingga entah kapan.
Jadi siapa yang paling benar?