Media sosial mengajari kita untuk senantiasa ge-er pada tiap postingan orang. Apakah status, meme, twit, apa saja yang penting curiga dulu. Begitu.
Tanpa bermaksud membangunkan Nokia dari tidur lelap, saya ingin mengatakan bahwa mimpi connecting-people mereka nampaknya dikabulkan semesta.
Orang-orang kini terhubung. Untuk sebuah postingan saja, misalnya, puluhan kepala bisa merasa itu tentangnya. Lalu mereka membalas dengan postingan juga yang ditangkap kepala-kepala lainnya. Terus saja menjadi nyinyiran berantai.
Begitulah jejaring sosial bekerja. Sayang beribu sayang pencetusnya tak turut merayakan. Yang terbaru malah mereka melepas Lumia. Semakin jauh. Semakin lelap.
Zaman memang takkan segan meninggalkan sesiapa yang tak mampu jalan beriringan. Berduyun-duyun. Berarak menuju satu arah. Meski pada waktunya gerak itu melambat karena padat. Merayap. Orang kota mafhum betul soal ini.
Dari sana lahir tradisi baru oleh masyarakat urban dalam menggugat kebuntuan; menyalakkan klakson kencang-kencang.
Mereka tahu itu percuma. Mustahil mengurai kemacetan dengan berkali meninju horn. Tapi setidaknya dalam situasi demikian sesak, dimana nyaris tak mungkin bergerak, masih ada celah untuk rasa kesal tumpah. Ada saluran yang terbuka.
Kata Goenawan Mohamad, "Dalam hidup selalu perlu ada ruang yang cukup untuk hal-hal yang privat, sederhana, kecil, romantik, tidak berguna."
Maka berterima-kasihlah pada (pertama) Mark Zuckerberg (kemudian pada yang lainnya) yang telah membuat ruang bagi kita untuk bersumpah serapah sedemikian rupa. Dan berkeluh kesah sejadi-jadinya.
Atau apapun yang tak berguna.