Setiap makhluk dibekali rasa takut. Gajah,
binatang yang demikian besarpun takut pada tikus. Memang cuma dongeng ala
Disney. Tapi begitulah cara orang menggambarkan iman yang kadang tak bisa
di-kata-kata.
Biarkan itu tetap menjadi keyakinan. Seperti kita
meyakini gajah takut pada semut. Benarkah? Tanpa tahu kebenarannya, kita selalu
mengimani. Buktinya tiap pingsut, kita sepakat bahwa jempol (gajah) kalah
dengan kelingking (semut).
Pingsut menjadi doktrin yang begitu kuat melekat.
Ditanamkan sejak dini sekali. Kita tidak pernah mempertanyakan. Apriori.
Gajah kurang besar apa? Makhluk darat paling
besar yang pernah terekam sejarah. Kok takut semut.
Tapi saya tidak akan mendiskusikan
kebenarannya. Jadi jangan bertanya.
Maka, tak heran pula manusia memiliki rasa takut.
Yang justru belakangan menjadi alat serba guna. Ternyata. Bisa dijual dan
dibeli. Yang penting, wani piro?
Ada rasa takut yang dipelihara demi langgengnya
kuasa. Sampai 32 tahun.
Ada rasa takut yang disirami supaya laku itu
dagangan air suci. Jimat, keris, mantra, dan kawan-kawannya lah pokoknya.
Tetapi, lho, ada orang yang mbalelo.
Jangankan sama setan, sama macan saja tidak ada takut-takutnya. Apalagi kok
cuma sama preman terminal. Kalau perlu dikudeta kekuasaan gali lokal itu. Entah
dia lulusan padepokan mana.
Barangkali kalau ada perang, dialah yang maju
paling depan. Yang seragamnya beda diganyang. Sikat habis-habisan. Tapi kita
juga tidak tahu, bisa jadi dia mati duluan kena peluru nyasar. Kita
tidak tahu.
Atas ketidaktahuan itulah, biasanya, manusia
tetap menyimpan rasa takut. Sekecil apapun itu.
Ini yang disebut dengan taqwa. Tak peduli sekuat
apapun kita, kita diminta bertaqwa. Takut. Ittaqullah (Arab); takutlah pada
Tuhan. Kita tetap tidak tahu atas apa yang belum kita tahu.
Ittaqullah!