Ada penyesalan yang tak henti menghantui. Bahwa sebuah kekecewaan sepenuhnya karena tindakan orang lain itu urusan biasa. Tapi ketika kecewa itu bersumber dari inisiatif sendiri yang berakhir alpa, sungguh itu bukan persoalan yang mudah saja terampuni.
Mengutuk diri sendiri. Apakah kutukan itu seperti Mak Erot yang memperbesar rasa bersalah, atau sekadar upil yang dikorek-korek lalu disentilkan ke udara tanpa sesiapa menerima, yang jelas rasa itu sekarang ada.
Saya berlari ke club malam-dugem, karaoke, cafe-cafe, dan kawan-kawannya. Yang paling menyenangkan adalah pelarian saya di pantai. Tapi bagaimana kesenangan ini seenaknya menjelma menjadi boring, itu yang tidak saya sadari sebelumnya. Mentang-mentang sudah merdeka dia berubah tanpa aba-aba. Barangkali dia pernah belajar ilmu ninja, atau sudah berpengalaman mengibuli rakyat semalaman suntuk. Katanya dia tukang gombal yang gagal mengelola APBD juga APBN. Ah, itu bukan urusan saya.
Saya berlari ke club malam-dugem, karaoke, cafe-cafe, dan kawan-kawannya. Yang paling menyenangkan adalah pelarian saya di pantai. Tapi bagaimana kesenangan ini seenaknya menjelma menjadi boring, itu yang tidak saya sadari sebelumnya. Mentang-mentang sudah merdeka dia berubah tanpa aba-aba. Barangkali dia pernah belajar ilmu ninja, atau sudah berpengalaman mengibuli rakyat semalaman suntuk. Katanya dia tukang gombal yang gagal mengelola APBD juga APBN. Ah, itu bukan urusan saya.
Dari pantai, justru membuat saya ingin berlari lebih jauh lagi. Tapi ke mana, pantai adalah tempat paling tenang dan menenangkan yang pernah saya kunjungi.
Saya mulai mengidentifikasi penyebabnya. Kemana saya berlari, selalu ada saja mesiu yang siap memicu ledakan kemarahan yang sudah saya bikin melempem. Mestinya perlu digoreng dengan suhu ratusan derajat selsius untuk menjadikannya mudah tersulut. Tapi ini? Nihil.
Ternyata saya mengantongi gula. Barulah saya sadar bahwa semut-semut penyesalan, kekecewaan dan kemarahan itu mengejar gula dalam kantong saya. Semakin jauh saya berlari, sejauh itu pula semut-semut mengejar gulanya. Tak peduli apakah saya berlari kencang atau lambat. Bagi semut-semut itu alon waton kelakon. Yang penting sampai tujuan.
Benar saja, cepat atau lambat semut itu mengerubuti gula dalam kantong saya. Rasanya agak geli. Saya belum tahu apa rasa geli ini juga adiktif seperti kafein. Saya harap tidak.
Saya tinggalkan gula itu di dapur, kok eman. Saya simpan di kamar, rasanya sayang. Gula itu ngintil kemana saya pergi. Pernah beberapa saat gula itu tergeletak di atas meja atau ikut tergantung bersama celana saya, tapi tidak lama. Setelah saya mandi, gula itu kembali nemplok.
Seandainya meninggalkan HP itu perkara gampang, tentu akan mudah bagiku menulis cerita baru.