29 April 2011

Ayam

Manusia memang ditakdirkan pandai berfilsafat. Tidak percaya? Nenek moyangmu yang dulunya petani -atau nenekmu masih- pun bisa berfilosofi tentang tanamannya "Padi". Semakin berisi semakin merunduk. Begitu kata mereka.

Kamu harus seperti padi. Jangan semakin tua semakin jumawa. Semakin tinggi pangkatmu, jabatanmu, martabatmu. Tetaplah merunduk. Mungkin seperti itu mereka meyakinkanmu agar bangga menjadi padi.

Untungnya mereka tidak menyuruhmu menjadi seperti kerbau. Yang bangun pagi minta makan. Dipecut baru mau jalan. Seharian menarik karapan, tidak peduli panas atau hujan. Kandang kotor tidak mapan, mapan tidur. Dan berakhir menjadi daging kurban.

Mereka menyuruhmu belajar dari ayam. Bangun pagi-pagi sebelum matahari beranjak. Sebelum orang-orang mulai membuka pintu dan jendela. Membangunkan orang-orang terdekat. Kalau terpaksa harus berisik, boleh juga yang jauh-jauh. Yang penting paling pagi. Nanti giliran mencari makan atau mengasuh anak, jamnya juga pasti. Tidak membawa jam tangan atau jam dinding memang. Tapi instinknya lebih canggih dari merk jam manapun.

Biarpun langit gelap -bahkan badai, tetap harus keluar dari pangkuan jerami. Pantang pulang sebelum jam instinknya membunyikan bel menandai pengakhiran hari kerja. Ragu? Ayam itu tetap tidak pulang sebelum menjelang magrib. Mendung pun gagal membohongi jam instinknya.

Belajarlah dari ayam. Selama matahari masih hidup, jangan pulang. Kerja. Kerja. Sekedar mendung ya jangan pulang, itu mataharinya belum mati. Kalau pulang, artinya instinkmu masih kalah dibanding ayam.

Ya, begitulah dulu cara orang tuamu membujukmu agar kamu mau menjadi ayam. Sekarang? Mau jadi ayam? Tidak kuakui anak kamu kalau berani. Dibiayai kuliah mahal-mahal, dipilihkan jurusan yang menjanjikan, dicarikan kampus paling bagus, kok malah jadi ayam. Tidak tahu diuntung!

14 April 2011

Cita-cita

Semua orang punya cita-cita. Saya, kamu, dia, mereka, siapa saja. Rasanya cita-cita memang hal wajib yang harus dipegang setiap orang. Khususnya anak muda. Jadi teringat perkataan guru spiritual saya,

"Anak muda yang tak punya cita-cita, sama juga mati."

Ya, lebih baik mati saja. Seorang pemuda tanpa cita-cita, telah mematikan segalanya yang dia punya. Potensi mengubah nasibnya sendiri, keluarganya, bangsanya, dunia, absurd sudah.

Sewaktu kecil dulu saya bercita-cita menjadi Insinyur. Meskipun sama sekali tidak tahu apa itu insinyur. Mungkin karena terlanjur menelan doktrin orang-orang tua saat itu. Ditambah lagi embel-embel yang selalu mengawal presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.

Lama-kelamaan cita-cita itu pudar. Saya mulai tertarik pada sebuah kata yang paling banyak disebut teman-teman saat membicarakan cita-cita. Pilot. Pilot itu sopirnya pesawat. Begitu pemahaman saya. Kemudian saya sadar, pegawai Telkom itu juga pilot. Mereka sopir pesawat telepon. Mereka menerbangkan data ke angkasa, kemudian membawa kembali ke bumi nyungsep di pesawat telepon tujuan. Entah mereka pilot atau bukan.

Ada lagi cita-cita yang selalu ramai dalam perbincangan masa kecil kita. Dokter. Tapi saya tidak tertarik menjadi dokter. Seperti anak kecil kebanyakan, berobat itu hal yang paling membosankan.

Polisi. Polisi itu suka meniup peluit di pinggir jalan. Bukan...bukan, yang memakai rompi oranye itu tukang parkir.

Begitu besar cita-cita kita dulu. Ambisi masa kecil terkadang bisa menampar muka kita sampai hilang. Kalau sekarang kita ingat-ingat lagi mungkin semuanya sudah melempem.

"Dulu kan belum ngerti sulitnya kehidupan."

Justru cita-cita itu harus sulit. Kalau sekarang sudah menyerah dari sulitnya kehidupan, itu artinya melempem. Ah, melempem.

Mimpi-mimpi yang indah itu telah lenyap bersama lenyapnya kapur di atas aspal. Digerus roda-roda zaman yang semakin lama semakin kejam dan berisik. Disapu angin dan dihapus hujan. Belum lagi digusur buldozer plat merah, diinjak-injak gedung tengik yang jumawa. Yang dulu besar sekarang menjadi kecil. Bahkan nyaris tutup buku, atau malah sudah.

Waktu yang paling ampuh membuktikan konsistensi manusia. Dari insinyur, pilot, dan seterusnya sampai pada kata entrepeneur. Berawal dari tayangan televisi, seorang wanita ditanya tentang pekerjaan. Entrepeneur. Terdengar keren. Suatu saat saya juga harus bisa menjawab seperti wanita itu. Lagipula saya hampir menyelesaikan diploma di program studi bisnis. Entrepeneur, tepat.

Tapi lagi-lagi waktu yang mutlak membuktikan konsistensi seseorang. Ketika seorang teman masih tetap pada impian mahasiswa bisnis umumnya, entrepeneur. Teman lain atas dasar kerakyatan ingin menjajaki panggung politik. Mengapa tidak menjadi pekerja sosial saja.

"Saya ingin jadi politisi, Cep."

Mungkin maksudnya politikus. Dulu saya juga tertarik mengentaskan penderitaan rakyat dari tukang kibul yang minta dipilih, minta juga digaji. Tapi waktu lagi yang menyadarkan saya bahwa -sekali lagi- politik itu lumpur kotor. Kotor. Terlalu dekat dengan hal-hal yang banyak membuat lupa. Lupa diri, lupa agama, keluarga, saudara, kawan, lupa. Sudahlah lupakan saja tugas mulia politikus.

Sekarang saya ingin menjadi guru. Mungkin saya memang tidak lulus menggondol gelar SPd -memang bukan jalurnya. Tidak juga ingin mengakhiri keluhan sebelum memilih perguruan tinggi dulu,

"Masak dari TK sampai kerja kok di SEKOLAH terus."

Begitu cara saya meyakinkan orang tua yang menghendaki saya masuk di jalur kependidikan -dulu disebut IKIP. Nyatanya sekarang saya harus berkeinginan menjadi guru. Dan tentu saja keputusan saya ini mendapat protes -pun dari seorang teman,

"Kamu kan bukan bakal SPd seperti saya. Mestinya dulu masuk sini (perguruan tinggi yang dipilihnya)."

Sayang sekali jawaban saya harus mengecewakannya. Bagi saya, bahkan seorang lulusan SD pun bisa menjadi guru. Mbahmu yang tidak sekolah saja bisa mengajari orang tuamu toh. Apa sih guru itu? Kata orang Jawa GURU itu diguGU lan ditiRU (dipercaya dan dicontoh). Memang saya tidak menjadi guru di sekolahan, paling tidak saya bisa menjadi guru bagi adik-adik saya, keluarga, sukur-sukur bagi banyak orang.

Apapun profesi saya nanti, saya tetap ingin menjadi guru. Sepertinya cerpen Putu Wijaya - Guru banyak mempengaruhi saya. Keinginan menjadi guru lahir setelah saya selesai membaca cerpen itu. Penulis yang selalu memberi kejutan. Dan hidup ini memang penuh kejutan. Putu Wijaya juga guru saya. Yang tidak pernah sekalipun jumpa. Yang selalu saya cari pelajaran darinya. Buku "Dor" yang memperkenalkan saya padanya. Pun dia tetap tidak pernah mengenal saya. Putu Wijaya. Guru.