18 November 2015

Adil

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bunyi sila ke 5, betul? Semoga belum diubah (bukan dirubah. Rubah itu binatang. Paham ora, son?).

Begitu penting sebuah keadilan sampai harus dirumuskan, ditemukan formulanya, hingga disidangkan untuk diuji dan diputuskan. Tempat itu bernama pengadilan.

Di negeri ini produk pengadilan haruslah disebut keadilan. Apakah itu Antasari Azhar yang diputus bersalah atas kasus yang entah, apakah itu nenek Asyani yang divonis penjara atas dakwaan mencuri, apakah itu gugatan warga Kendeng yang menang di PTUN (pabrik semen-Pati), bla-bla-bla.

Sampeyan boleh tak setuju tapi itulah aturannya. Jika tak puas dengan putusan pengadilan naikkan saja-sampai ke Mahkamah Agung, misalnya. Setiap warga negara punya hak mencari keadilan. Itu bukan sekadar pemikiran medioker, Mblo! Itu mendasar!

Beberapa hari ini media sosial diramaikan komentar para cerdik cendekia. Tak cuma ramai, malah, cenderung gaduh. Soal serangan Paris. Saya juga kaget ternyata di sekitar sini banyak pakar dan analis handal. Analis pakai “is”, please!

Tak henti-henti orang mengangsurkan teori konspirasi. Menarik-narik yang jauh supaya Amerika, Yahudi, Zionis, dan anteknya bisa ditunjuk hidungnya. Dengan teori (iya teori) ini ada juga yang mengajari saya tentang apa sebenarnya di balik serangan Paris itu. Terima kasih lho, Mbak, atas pencerahannya. Uhuk!

Mbak, jangan dengarkan kalau ada yang bilang, “Teori konspirasi memang indah dibaca, menyenangkan buat yang malas berpikir.”

Juga hiraukan saja jika ada yang berpendapat bahwa munculnya teori konspirasi karena (1) paranoia laten, (2) kehilangan akal pahami kompleksitas kenyataan, (3) pikiran orang lagi terpojok.

Siapa yang mengeluarkan pernyataan di atas? Tidak perlu saya jelakan ya. Mbak kan cerdik lagi cendekia. Di atas itu pernyataan intelektual mumpuni negeri ini kok, pasti Mbak tahu. Blah!

Dalam Quran, surat Al Maidah, ayat 8, Allah memerintahkan, “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil!”

Para penganut teori konspirasi pastilah tidak benci pada Amerika, Zionis, Yahudi, dan anteknya. Dan pastilah tudingan dalam teori itu bukan suatu laku tak adil. Saya yakin mereka umat yang taat. Masyaallah.

Mereka ini kebanyakan juga yang menuntut keadilan perhatian. Jangan cuma Paris yang diperhatikan, tapi juga Palestina, Suriah, Lebanon. Saya mengerti perasaan mereka. Sebab mereka tentu telah memperhatikan semuanya. Pengusiran warga Syiah di Madura, warga Ahmadiyah Bogor yang diserang, gereja di Aceh yang dibakar, semuanya sudah diperhatikan. Tak ada yang luput oleh mereka. Termasuk Aksi Kamisan.

Aksi Kamisan. Sampeyan sekalian, para cerdik cendekia, tentu saja tahu mengenai demo hening ini. Dilakukan oleh keluarga dan simpatisan korban kekerasan Orde Baru seperti pembantaian massal 1965/1966, penghilangan paksa beberapa mahasiswa 1997/1998, pembunuhan Munir Said Thalib 2001, juga aksi solidaritas untuk kelompok minoritas.

Biasanya mereka mengenakan pakaian hitam dan payung hitam, berdiri di depan istana negara, mematung begitu saja. Aksi ini dilakukan tiap Kamis, sejak 2007 sampai sekarang, secara konsisten dan damai.

Band Efek Rumah Kaca sampai membuat lagu tentang aksi ini, berjudul Hilang.

Tetapi baru-baru ini ada pengusiran oleh aparat kepada peserta Aksi Kamisan di depan istana negara. Apakah negara anti kritik? Apakah demonstrasi damai dilarang?

Kabarnya, dalam UU No. 9 tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, terdapat larangan aksi unjuk rasa di sepanjang 100 meter dari objek vital termasuk Istana Negara. Sebagai gantinya, aparat mempersilakan peserta Aksi Kamisan pindah ke tempat lain dengan jarak 200 meter dari istana. Apakah cukup adil? Tidak bagi mereka.

Kadang saya sampai pada lamunan nakal. Orang yang merasa tertindas harus selalu (menjadi) benar meski melanggar undang-undang dan turunannya? Atau lebih buruk lagi, menuntut keadilan dengan cara yang tak adil.

Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis yang lahir di Blora (saya juga), pernah berpesan pada kaum terpelajar untuk adil sejak dalam pikiran. So what? What-thukmu sempal kui! *nyebut*

15 November 2015

Paris

"When your feet danced with such intense anger, Paris! When you knew so many cuts of the knife…" Tulis Arthur Rimbaud.

Kabarnya kekerasan di Paris sudah dimulai sejak lama. Jauh sebelum radikalis umat agama masuk ke Perancis. Jauh sebelum serangan 13 November 2015 terjadi, yang akhirnya ISIS mengklaim itu sebagai ulahnya.

Tak mengejutkan tapi menyesakkan tahu bahwa ada saja orang yang bersuka cita atas tragedi itu. Bagaimana mungkin manusia bersorak gembira menyaksikan tragedi kemanusiaan yang demikian keji?

Bahwa ada tragedi yang lebih keji dari itu, ya, kita seharusnya tak abai pada kemanusiaan di manapun tempatnya. Lebanon, Suriah, Palestina, semuanya. Tapi kekejian di satu tempat tak lantas dapat dimaklumi ketika ada kekejian di tempat lain yang lebih menjijikkan.

ISIS mengklaim serangan Paris. Banyak umat Islam yang kemudian menyangkal ISIS sebagai bagian dari Islam. Meskipun semua tahu bahwa pengikut ISIS mengucap syahadat, solat 5 waktu, dan seterusnya. Bahkan legitimasi kekerasan mereka adalah teks Quran yang sama, seperti biasa.

Cara paling mudah bagi seorang muslim-non-simpatisan-ISIS untuk cuci tangan adalah dengan mengangsurkan teori konspirasi. Amerika, Yahudi, Zionis, dan kawan-kawannya dicatut. Ada juga yang melekatkan asal-usul ISIS pada syiah atau wahabi. Jujur saja menanggapi cara pikir ini cukup melelahkan.

Namun ada juga muslim yang menganggap ISIS merupakan penyakit Islam. Artinya ISIS diakui berangkat dari Islam, yang harus disembuhkan atau lebih jauh lagi-malah diamputasi.

Seperti saya tulis di atas, ISIS memenuhi kriteria dasar untuk dapat disebut Islam. Bahkan segala tindakannya benar-benar didasarkan pada ayat Quran.

Ya, harus diakui terdapat banyak skrip dalam kitab suci itu yang bisa ditafsirkan sedemikian rupa untuk mendukung aksi teror. Meski banyak muslim memilih menafsirkan dengan cara lain. Memang corak penafsiran Islam beragam.

Tapi apapun agamanya, siapapun penafsirnya, kita wajib menentang kekerasan bagaimanapun bentuknya. Teror adalah musuh bagi kemanusiaan.

"Imagine all the people living life in peace..." Nyanyi John Lennon dalam Imagine.