12 September 2015

Panggung

Setelah melakukan penyelidikan singkat dan dangkal, saya mulai punya dugaan tentang apa yang terjadi pada orang kita akhir-akhir ini. Mengapa begitu-begini.

Lho, memangnya gimana? Nganu, pokoknya gitu.

Jadi, menurut penerawangan saya, kini orang-orang dengan literatur payah punya ruang-terlebih panggung-demikian luas. Dulu yang punya panggung luas adalah orang dengan daftar bacaan yang tak cukup jika dikumpulkan di perpustakaan kota. Kini tak lagi.

Ambillah contoh Goenawan Mohamad yang rutin mengisi Catatan Pinggir di Majalah Tempo. Atau Prie GS yang menulis esai untuk koran Suara Merdeka tiap pekan. Juga Putu Setia (sekarang Mpu Jaya Prema), AS Laksana, dan seterusnya.

Nama-nama di atas itu tak perlu diragukan lagi kepustakaannya. Maka tulisan mereka kerap muncul di pelbagai media massa. Tapi sekarang beda. Orang lebih mudah naik ke atas panggung. Tak peduli panggung dangdut atau campursari, yang penting digoyang.

Maksud saya, orang makin mudah mendapatkan tempat untuk 'beraksi'.

Bukan karena syarat naik pentas itu kini jadi gampang, melainkan keberadaan panggungnya yang kian bertebaran. Kalau dulu panggungnya hanya di media cetak, layar tivi, radio, dan sebangsanya yang amat terbatas, hari ini ada media online.

Di media online kita mudah saja berkhutbah. Tidak semua pemirsa kritis pada materi kita. Malah banyak yang akan percaya. Tak penting dasar ilmu kita dari mana. Tak ada yang tanya juga kita sudah membaca buku apa saja.

Di samping itu panggung konvensional yang dulu hanya dikuasai cendekiawan, sekarang juga diramaikan sembarang orang dalam versi indie.

Singkatnya, hari ini kita sedang menghadapi lalu lintas pendapat yang padat dan runyam.

Sebenarnya cukup mudah bagaimana memilih pendapat yang paling patut dipertimbangkan-yang selanjutnya untuk ditafsirkan. Yaitu dari mereka yang literaturnya kaya. Jika bicara tentang agama, misalnya, paling tidak ia telah membaca selain kitab-kitab klasik tapi juga kitab kontemporer.

Namun saya percaya 'mengimani' sebuah pendapat bisa jadi serupa pengalaman spiritual; menerima ilham-bahkan wahyu. Yang menadah dengan gentar, gemetar, terguncang, dan terpesona. Tak ada kata-kata.

"The individual pinch of destiny", dalam kata-kata William James.

07 September 2015

Ustadz

Alhamdulillah...” saya membuka ceramah. “Alhamdulillahilladzi adzhaba anil adza wa affani.” Para tamu khidmat menyimak.

Panitia tampak semringah, puas melihat pembicara yang diundangnya terdengar ‘berat’.

Saya menyambung, “Itu tadi doa yang biasa saya ucapkan setelah buang air.”

Panitia terhenyak. Hadirin riuh kecil. Barangkali merasa terkecoh.

Banyak hal di dunia ini yang tak seperti kita kira. Saya pernah membaca judul berita begini, “Hak Pekerja Dikurangi Karena Harga Dolar Tinggi”. Di situ kita mudah menyimpulkan bahwa ada pelanggaran. Ada hak yang tidak diberikan. Setelah saya baca isi beritanya, ternyata dugaan saya salah. Bukan hak yang dikurangi, tapi lemburannya.

Apakah jika pengusaha mengurangi jam lembur pekerja itu sama dengan mengurangi haknya? Apakah ada yang dilanggar pengusaha? Tidak. Tapi jika pekerja sudah melakukan lembur sesuai perintah pengusaha, namun pekerja tidak dibayar atas lemburnya, itu baru pelanggaran. 

Ada contoh pengurangan hak pekerja yang lebih pas. Misalnya seperti cuti tahunan yang 12 hari per tahun, hanya diberikan 10 hari. Itu baru “hak pekerja dikurangi”. 

Pernah juga membaca judul berita, “Kuota Impor Dibatasi Mengakibatkan Harga Sapi Naik”. Ada yang salah? Tidak ada, sampai sampean sadar bahwa kuota adalah batas itu sendiri. Menurut KBBI, kuota adalah jatah. Di mana ada jatah berarti terdapat batas. Pada kalimat “kuota dibatasi”, di situ ada pemborosan kata. Mubadzir. 

Lalu bolehlah kini kita mulai kritis pada pemberitaan media. Tak cuma redaksinya, terlebih soal isinya. Ternyata jurnalis juga manusia-yang katanya tempat salah dan lupa. Al insanu machalul khotho’ wa nisyan

Memang, mungkin saja ada banyak hal yang tak seperti kita kira. Sepuluh tahun lalu siapa yang mengira Teuku Wisnu bakal menjadi ustadz? Tapi sekarang, alhamdulillah, belionya sudah mantab hati berdakwah. Ana tak faham apa alasannya, tapi kehendak baik saja sudah harus dihitung sebagai perbuatan mulia. Apalagi amalnya yang mencerahkan anta sekalian, ya Akhi wa Ukhti. 

Tak penting menelusuri sanad keilmuan yang bersangkutan, belio sudah belajar apa saja, dan sebagainya itu tidak perlu. Merepotkan. Zaman sudah demikian maju, tinggal ketik kata kunci di mesin pencari, Mbah Google bisa menjadi sumber ilmu yang siap disyiarkan. Menjadi dai instan itu mudah. 

Kata ‘ustadz’ sebenarnya jarang digunakan, setidaknya di lingkungan saya. Tradisi kami menyebut guru-mengaji sebagai kyai. Yang berceramah di panggung pengajian itu kami sebut mubaligh. 

Kami dulu hanyalah santri kuno. Belajar ilmu Islam melalui kitab-kitab yang buluk warnanya. Maka banyak yang menyebut itu kitab kuning. Barangkali karena saking buramnya kertas yang digunakan. Untuk membacanya pun repot. Beruntung kalau ada kitab yang sudah berharakat. Jika tidak santri harus menguasai ilmu alat; nahwu & sorof. Karena tidak beraharakat itulah orang menamainya kitab gundul. Macam tak punya rambut (harakat). 

Yang awal dipelajari sebut saja kitab Ta’limul Muta’alim, Sulam Safinah-Sulamuttaufiq, Akhlaqul Banin, Mabadi’ul Fiqhiyah, dan yang sangat terkenal adalah kitab Al-Ibriz; karya Mbah Bisri Mustafa, kyai Rembang. Al-Ibriz berisi Quran beserta tafsirnya yang tentu saja dalam huruf pegon. Pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa. Jangan harap ada huruf latin di sana. 

Bagaimana dengan ilmu alat-nahwu & sorof tadi? Itu seharusnya mendasar bagi mereka yang ingin memahami Quran. Betapa berbahayanya mereka yang menerjemahkan dalil dengan serampangan, tanpa bekal yang cukup, tanpa pemahaman pada ilmu alat. Lalu dengan mudah menyalahkan, mendosakan, mengkafirkan, mengharamkan. Padahal itu cuma habis baca Quran terjemahan dalam bahasa Indonesia. 

Abdullah Darraz berkata, fa kana hadzqu al-lughah al’arabiyyah ruknan min arkan al-ijtihad, mengetahui lika-liku bahasa Arab adalah persyaratan awal menjadi mujtahid. Tak mungkin seseorang bisa memaknai apalagi menafsirkan al-Qur’an jika yang bersangkutan tak menguasai gramatika bahasa Arab. 

Tapi ustadz Teuku Wisnu tentulah seorang mujtahid yang mumpuni. Maka ketika ia menghukumi sesuatu patutlah kita dengarkan. Termasuk di antaranya hukum mengirim Al-Fatihah yang belakangan ramai di media. 

Saya masih ingat salah satu kitab syi’iran dibuka dengan begini. Alala tanalul ilma illa bi sittatin, ilmu tidak akan menghasilkan kecuali adanya 6 perkara. Dzukain wachirshin washthibari wabulghotin wairsyadi ustadzhi wathuli zamani, yaitu cerdas, semangat, sabar, ada biaya, petunjuk guru, dan waktu yang lama. Akan panjang kalau bicara tentang ini. Tapi kira-kira maksud saya begini. Ustadz Teuku Wisnu tentu telah melewati 6 perkara itu untuk sampai pada ‘menghukumi’. Subhanallah.

***

Suatu ketika saya mengganggu kawan dengan pertanyaan, “Apakah Quran itu kitab?” 

Sampean boleh ikut mencari jawabannya. Itu pertanyaan dari santri bodoh dan gagal macam saya. Tapi kenapa Quran itu disebut kitab/tidak kitab? 

Kita tarik mundur (sedikit saja) menggunakan ilmu alat. Jika kitab berasal dari kata ‘kataba’ yang berarti menulis, lalu kitab diartikan sebagai tulisan, apakah Quran bisa disebut kitab? Sementara penerima wahyu itu ummi, tidak membaca dan menulis. Mudeng? Puyeng? 

Nabi Muhammad adalah penerima wahyu Quran. Nabi Muhammad tidak membaca dan menulis. Lalu bagaimana Quran bisa disebut kitab (tulisan)? 

Masih ndak ngeh? Mari minta petunjuk pada junjungan kita Ustadz Teuku Wisnu yang mulia.

02 September 2015

Lahir

Kemarin saya ulang tahun. Ya memang setiap hari juga mengulang tahun lalu. Tapi ulang tahun di sini maksudnya mengulang hari kelahiran di tahun yang berbeda. Kalau sampean tidak paham tolong jangan paksa pikiran. Ini perkara sepele. Jangan sampai stres lantaran baca postingan yang aduhai.

Konon kata ulang tahun ini terjemahan dari bahasa Inggris yaitu birthday. Lalu bagaimana kata birthday bisa menjadi ulang tahun? Kenapa bukan hari kelahiran? Pertanyaan serupa yang ingin saya ajukan, kenapa AC (Air Conditioner) diterjemahkan menjadi pendingin ruangan? Kenapa bukan pengondisi udara? Mungkin karena kurang catchy. Catchy Perry.

Sekali lagi jangan sampai stres baca postingan yang aduhai.

Di hari ulang tahun ini saya mendapat kejutan kecil tapi cukup pedih. Lha iya pedih wong disiram air-airan. Tak cuma air rawa yang diolah ala kadarnya sehingga menyerupai teh campur Milo. Lho. Tapi juga air deterjen, sabun, kopi, minyak zaitun, juga Popmie. Bahkan setelah saya usut ada juga yang menyiram dengan air tape. Ini saya mau difermentasi apa?

Kenapa saya tak lari atau melawan? Pertanyaan cerdas. Jawabannya, saya diborgol di tiang. Cadas. Mainan kawan-kawan sejawat ini sungguh pedas.

Tak cukup sampai di situ. Saya difoto menggunakan HP saya, kemudian diunggah ke hampir semua media sosial saya. Meski tak pakai Camera 360, untung saja pose dan cahayanya tak buruk-buruk amat. Di situ saya berharap masih ada perempuan yang terpikat. Ya antara terpikat atau iba melihat kondisi yang demikian hina.

Ada hikmahnya juga ‘dikerjai’ kawan-kawan ini. Banyak orang yang akhirnya berbasa-basi mengucapkan selamat. Dan doanya masih di seputar jodoh. Soal ini seharusnya tak usah dibicarakan. Sebab sudah banyak yang antre. Antre Taulani.

Apapun itu, sudah selayaknya saya ucapkan terima kasih pada mereka, pada sampean, dan terutama pada calon mertua yang telah melahirkan bidadari yang begitu indah itu. Itu lho yang berdiri di belakang. Kamu. Iya, kamu.

Apa? Ulang tahun ke berapa? Masih sama seperti tahun lalu. Tapi akan saya jawab menggunakan gaya junjungan kita Vicky Prasetyo, ‘seven teen my age yah’.