17 Juli 2015

Kurusan

Ini lebaran ke-4 saya jauh dari rumah. Rumah sungguhan. Meski minggu lalu masih tidur di sana. Sendirian. Sebab belum bertangga. Bukan tangga sungguhan.

Saya takkan mengangsurkan perdebatan ihwal penetapan 1 Syawal seperti orang ramai bicarakan. Apalah kapasitas saya. Tak elok memperkeruh suasana.

Orang-orang lain berkumpul dengan keluarga di tanah kelahirannya. Atau moyangnya. Yang dari jauh datang, pulang ke asal. Tapi begitu dekat lahirnya, menjauh jiwanya bersama perangkat canggih atau telepon pintar menuju ruang maya.

Tak cuma muslim, yang lainpun demikian. Semua mudik. Menurut KBBI, mudik berarti pulang ke kampung halaman. Tak penting halaman berapa. Yang baru sampai halaman pengesahan juga boleh turut serta. Halaman selanjutnya dikerjakan kemudian. Saya doakan skripsinya lancar.

Halaman adalah guru terbaik. Di sana kami banyak belajar dari pelbagai permainan. Petak umpet, kelereng, lompat tali, dan sebagainya. Semua permainan tradisional pernah kami mainkan.

Maaf, itu memang tentang kami anak 90-an. Yang begitu riang tertawa di halaman rumah. Tak mewah. Tapi menjadi jelas kenapa kami rindu pulang ke kampung halaman saat lebaran. Terang.

Anak sekarang berbeda. Mereka pastilah linglung jika harus mudik. Karena tak punya halaman tempat bermain-main asik. Rumah cluster berhimpit. Berjajar tanpa jarak. Jadi untuk memenuhi syarat "mudik", ke halaman yang mana mereka mesti pulang? Halaman Facebook?

Hari raya Idul Fitri. Akhirnya, setelah sebulan berpuasa. Ramadan berlalu. Yang bergembira pertama kali tentu saja setan sebab tak lagi dibelenggu.

Ada yang bergembira di sini?

Setan sedang berpesta. Lewat lemak opor ayam, petasan, pamer kekayaan, dan seterusnya. Tapi setan juga kecolongan. Saat masih dibelenggu, masih Ramadan, sebelum lebaran tiba, manusia sudah memulai pestanya. Begitu banyak orang mengalami kenaikan berat badan. Kira-kira kiat berpuasa apa yang diamalkan?

Maka bolehlah saya heran pada orang yang telah berpuasa sebulan malah lebaran. Sementara saya kurusan. Lha.