24 Mei 2015

Edan

“Ora edan ora keduman!” Begitu menurut Ramalan Jayabaya.

Diramalkan, akan tiba saatnya dimana kita harus gila untuk mendapat bagian. Layar tivi kita sudah memulai gejala ini. Orang-orang bertingkah gila dengan gimmick tak karuhan untuk ikut bancakan. Bancakan mengerumuni gunungan rezeki. Supaya keduman, dapat bagian.

Lama-lama sebagian orang berpikir apakah mereka sudah dalam kondisi gila yang hakiki? Demikian khusyuk menghayati peran. Sampai melebur, maujud menjadi kepribadian sehari-hari. Edan.

Tapi pada orang-orang gila itupun bagiannya beragam. Tergantung seberapa edan dia. Makin gila, makin tak waras, makin berbeda, makin melimpah jatahnya.

Barangkali dari sinilah para pakar marketing merumuskan kiat menguasai pasar. "Different Or Die!" Pilihannya cuma menjadi berbeda. Beda segila-gilanya. Jika gagal maka mati. Tapi saya belum menemukan referensi yang menyatakan Philip Kotler, ahli pemasaran itu, mengenal Prabu Jayabaya, Raja Kerajaan Kediri yang dipercayai sebagai titisan Wisnu. Lha!

Yang di atas itu tak usah dipikirkan. Meski sama-sama dalam lingkup pemasaran, pelopor Different Or Die bukan Philip Kotler. Saya tulis agak rumit begitu biar terlihat rada keren saja. Huh!

Di kesempatan lain, orang lain percaya kita memang sedang hidup di zaman edan. Maka teranglah sudah di mana dan untuk siapa jagad raya ini tersisa. Di zaman gila untuk orang-orang gila.

Tak kemana-mana kita. Mulai sekarang dan seterusnya mesti terbiasa. Terbiasa gila. Di tengah orang gila. Pada semua-mua yang serba gila. Merdeka!

Kita mewarisi segala gila ini karena diteladankan, asal tahu. Gusdur yang bilang. Soekarno, presiden pertama kita gila wanita. Soeharto, presiden kedua kita gila harta. Gusdur sendiri, presiden kita yang gila sungguhan. Sekarang kita para penerusnya mengemban tugas untuk menjadi tak kalah gila.

Tak harus mengekor. Karena dengan mengekor berarti menjadi sama. Menjadi sama berarti mati.

Dengan demikian kita telah resmi menyokong sebuah era dimana dunia dipenuhi apa-apa yang gila. Mulai dari sini teori "Different Or Die" akan kembali mengambil alih. Maksud saya begini. Jika semua orang gila, dan kita gila pula, artinya kita sama sekali tak berbeda. Dengan kata lain kita mesti siap mati. Lagi-lagi.

Kok alot men?! Padahal tinggal memutuskan untuk gila atau tak gila. Edan.

01 Mei 2015

Buruh

Kita memperingati 1 Mei sebagai Hari Buruh. Mayday. Sudah bertahun-tahun begitu. Memperjuangkan kesejahteraan kaum pekerja ini. Mendorong kontribusi buruh dalam pembangunan. Kira-kira, jadilah buruh yang makmur!

Dari sekian pendorong ada kelompok pengutuk kapitalisme. Mereka harus tahu bahwa dalam catatan sejarah buruh justru berjaya di negara kapitalis. Bahkan ketika faktanya pembela kaum buruh yang terdepan adalah komunis.

Jadi apakah yang merayakan Mayday di sini ada dari golongan komunis? Kalaupun ada tolong diam-diam saja. Negara kita punya cerita tidak enak tentang palu-arit.

Persoalan buruh hanyalah salah satu indikasi bahwa ada banyak hal di Indonesia yang mesti mendapat perhatian lebih. Memang semua-mua minta diperhatikan. Karena itulah peran negara.

Termasuk di kalangan anak muda. Kami juga butuh sesuatu yang spesifik dan nyata. Bisa dalam bentuk regulasi atau yang lainnya. Misal saja perlu digagas kebijakan semacam; fakir asmara dan jomblo terlantar dipelihara oleh negara.

Orang boleh menganggap remeh perkara sederhana itu. Tapi sebagai negara yang ber-ketuhanan yang maha esa, sudah sepatutnya aspirasi mulia umat beragama didengar. Coba ingat lagi, ada 2,5% milik kita yang merupakan hak kaum duafa. Orang-orang lemah. Yang berkekurangan. Termasuk mereka yang kurang kasih sayang.

Maka tak berlebihan jika kita minta negara turun tangan, turut memberantas tuna asmara. Kalau perlu paksa institusi penelitian & pengembangan menemukan obat pencahar yang dapat mengatasi pe-de-ka-te tidak lancar. Minimal supaya kaum fakir asmara & jomblo terlantar mengakhiri masa kesepian.

Saya tahu ini memang cenderung ngawur. Tapi, Kisanak, saya tidak main-main tentang betapa mendesaknya keberadaan cinta di masyarakat kita.

Karena dengan cinta, saat unjuk rasa buruh tak perlu menutup jalan. Bayangkan seandainya di ujung jalan sana ada ambulans. Mengangkut korban kecelakaan yang kondisinya gawat, sementara tak bisa lewat.

Juga dengan cinta, pemberi kerja tak perlu didemo baru memperhatikan hak-hak pekerja. Mereka sadar ada mutualisme yang harus dijaga. Agar semua seimbang.

Tidak repot kan? Ya jelas, wong cuma teori.

By the way, kalau ada yang jual obat pencahar untuk mengatasi pe-de-ka-te tidak lancar tolong hubungi saya!