18 Agustus 2013

Refleksi

Bersyukurlah bagi yang sudah merasakan berbagai jenis sarana transportasi umum. Karena dari sana kita dengan mudah berkenalan pada karakter massa. Tidak butuh waktu lama. Bahkan sangat singkat.

Saya sendiri sudah pernah merasakan banyak alat transportasi. Manis, asem, asin. Ramai rasanya! Nano-nano, Bro!

Eh sorry, bukan maksud memelintir perkara. Tapi kadang-kadang memang manis. Karena di kereta api kelas ekonomi ada penjual teh atau kopi panas yang meski murah, tidak pakai gula buatan. Sesekali kopi ini tumpah di celana bahkan muka. Ternyata rasanya manis, setelah mulut kecipratan airnya.

Juga asem. Tahu sendirilah kalau pelayan publik ini bekerja seharian penuh. Terbayang betapa lelahnya mereka. Maka tak heran jika beberapa pramugari memasang muka masamnya. Sebenarnya bukan dipasang, tapi terpasang begitu saja. Tapi, ya Tuhan, betapapun dimasamkan tetap saja ada manis gula aren yang menyembul di antara peragaan keselamatan, pelampung, oksigen, juga pintu darurat. Apalagi yang berlesung pipi. Aduh.

Asin juga tak kalah banyak bertebaran di alat transportasi publik. Yang biasa berjejalan di bus ekonomi pasti sudah khatam. Berdiri berhimpitan di antara orang-orang yang berusaha berpegangan pada tiang bus agar tak jatuh ketika bus direm mendadak. Jangan bohong tidak pernah nyerempet ketiak pengamen atau Ibu-ibu dari pasar. Wuih, asin kan?

Pokoknya ramai rasanya.

Sekali-kali rasakanlah lancarnya melaju naik busway. Atau cicipi goyang kopaja juga bajai yang lincah meliuk-liuk di tengah kemacetan. Jangan antipati dulu dengan Damri, andong, dokar, dan feri. Tapi perlu juga mencoba nyamannya pelayanan di kereta api eksekutif, taxi, atau pesawat terbang.

Sungguh, masing-masing alat dengan kelas masing-masing memiliki kecenderungan penumpang masing-masing. Tingkah penumpang kereta api kelas bisnis tentu berbeda dengan penumpang bus patas. Berbeda pula dengan penumpang ojek. Penumpang becak. Dan lain lain dan lain lain.

Begitu mudahnya melacak karakter massa. Jenis alat transportasi yang kita pilih berikut kelasnya adalah refleksi kehidupan kita, penumpangnya.

16 Agustus 2013

Mental

Sulit menelusuri apa maksud pernyataan Founding Father, Ir. Soekarno atau Bung Karno, tentang mental tempe. Dulu kita mengamini saja, barangkali karena belum mengenal Twitter. Dari linimasa Twitter saya membaca:

@AndaTahu: Tempe sudah dinobatkan sebagai salah satu makanan paling sehat di dunia oleh WHO

Mungkin saja dulu tempe belum dikenal oleh WHO. Tetapi seandainya dikenal dan dinobatkan pun, belum tentu kita dapatkan beritanya. Bahkan sampai zaman Orde Baru siaran televisi dimonopoli TVRI. Stasiun radio di bawah pengawasan ketat Menteri Penerangan. Ingat Harmoko? Nah. Semua berada di bawah kendali Mr. President Soeharto. Sedangkan jaringan internet waktu itu belum ada. Kalaupun ada sudah pasti penuh dengan banning.

Apa yang berhasil dibangun rezim Orba sampai Mr. President dijuluki Bapak Pembangunan? Oh ya, membangun rasa takut luar biasa kepada rakyat Indonesia. Membangun mental inferior yang menghamba kepada penguasa. Membangun...hush!

Ndak etis, katanya. Biarin! Ngapain dipikirin? Kayak kita dulu dipikirin aja!

Kembali soal tempe.

@kang_anu: Jadi, mental tempe adalah mental paling sehat di dunia.

Berbahagialah orang-orang yang pernah dikata-katai bermental tempe. Orang-orang bermental paling sehat di dunia. Banggalah menjadi Indonesia yang serba tempe. Murah meriah tapi paling sehat di dunia. Hidup bangsa tempe!

Kita sudah mahir dalam bidang fermentasi sebelum barat mengupas apa yang ada di balik fermentasi itu. Baru kini mereka menyimpulkan bahwa tempe, makanan hasil fermentasi ini adalah makanan paling sehat di dunia. Kita jauh lebih maju. Jauh ada di depan.

Sayangnya kita lebih suka mengonsumsi makanan/minuman produk barat yang jauh di belakang kita. Minuman bersoda/berkarbonasi, misalnya. Kurang jelas apa minuman ini berbahaya. Kurang gamblang apa minuman ini tidak sehat.

Di Universitas Delhi India pernah diadakan lomba minum minuman bersoda. Pemenangnya berhasil menghabiskan 8 kaleng, dan tewas di tempat karena terlalu banyak karbondioksida di dalam darahnya.

Minuman bersoda dinamai berkarbonasi karena di dalam airnya dimasukkan karbondioksida. Maka itu disebut proses karbonasi. Padahal yang dibutuhkan darah adalah oksigen untuk dialirkan ke otak. Ketika karbondioksida terlalu banyak mengalir ke otak, gagal dan tamat lah sudah.

Belum selesai berurusan dengan minuman berkarbonasi, sudah mengidolakan junk food. Makanan ini digemari justru oleh kalangan menengah ke atas Indonesia. Padahal secara harafiah junk food berarti makanan rombengan/buangan/dsb. Jadi, itulah selera tingginya Indonesia. Junk food. Sudah tidak perlu saya beberkan lagi apa yang menjadikan junk food benar-benar sebagai makanan rombengan.

Saya sependapat dengan Sujiwo Tejo (@sudjiwotedjo) soal mental ini. Lebih baik bermental tempe ketimbang mental junk food, toh?

14 Agustus 2013

Asal Kopi Kothok

Dari mana asal kopi kothok?

Coba surfing di internet! Search engine menyediakan puluhan (suatu saat akan menjadi ratusan bahkan ribuan) jawaban. Ada yang bilang dari Blora, Tuban, Bojonegoro, dan lain-lain. Entah mana yang benar. Sejarah belum membuktikan. Tidak tertulis dalam kitab Negarakertagama (apalagi Kamasutra) dari mana kopi kothok berasal. Di mana kopi ini pertama kali dibuat dan dipopulerkan. Semua boleh berpendapat atau membuat pengakuan. Termasuk saya, berpendapat bahwa kopi kothok ini khas Cepu. Sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Blora.

Jika kita bergeser sedikit ke selatan Jawa Tengah yang berbatasan dengan Yogyakarta, tepatnya Magelang, di sana ada sebuah tempat ngopi bernama Kopi Klotok. You know what? Ternyata Sang Founder diilhami Kopi Kothok Cepu. Sekali lagi; Cepu. Bukan tempat lain.

Tapi tetap saja menjadi perdebatan di kalangan pecinta kopi ini. Whatever. Yang saya tahu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Da'i kondang di masanya yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) dan pemimpin DI/TII ini juga berasal dari Cepu. Tidak banyak yang ingat.

Juga pamannya, Marco Kartodikromo (Mas Marco), seorang aktivis, penulis, yang ditakuti pemerintah kolonial, yang akhirnya dibuang di Digul, berasal dari Cepu pula.

Pusat pemerintahan Kadipaten Jipang Panolan pada abad XVI yang terkenal dengan Aryo Penangsang (yang juga murid Sunan Kudus) dan kerisnya Setan Kober, serta kudanya Gagak Rimang juga Cepu tempatnya. Bukan tempat lain.

Di Cepu jugalah pasukan Ronggolawe berada. Pasukan berkuda yang gagah berani.

Yang terbaru adalah Blok Cepu. Wilayah kontrak minyak dan gas bumi yang memiliki cadangan minyak sangat besar, mencapai 2 milyar barel. Kabar ini ramai di tahun 2006, saat ExxonMobil Ltd. (salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia) masuk dan membantu Pertamina mengelola minyak di sana. Tetapi kemudian banyak yang lupa, bahwa dengan begitu mestinya mendukung kemajuan Cepu. Bukan stuck begini.

Banyak lagi yang lainnya. Singkatnya, yang ingin saya sampaikan adalah Cepu banyak dilupakan. Jadi wajar saja kalaupun Kopi Kothok benar-benar berasal dari Cepu, kemudian orang melupakan. Lalu orang mulai membuat pengakuan. Wajar. Seandainya memang benar.

Saya mulai berpikir, jangan-jangan saya masih mewarisi darah Kartosoewirjo. Juga Mas Marco (atau Mbah Marco). Bisa jadi. Saya ini asli Cepu. Memang campuran Pati. Tapi toh, dulu Pati di bawah kedaulatan Jipang Panolan yang pusatnya di Cepu.

Atau malah mengalir darah Aryo Penangsang. Berarti saya keturunan Raden Patah, Raja Demak. Saya berdarah biru! Sepertinya perlu Medical Check Up, siapa tahu darah saya memang biru. Tapi sudahlah, lupakan, memang biasanya dilupakan.

Sungguh malang nasib Kopi Kothok. Dia mengembara ke mana-mana, tapi tidak punya akta kelahiran. Orang bertanya-tanya dari mana asalnya, tapi tidak ada jawaban. Sementara yang lain terus membuat pengakuan. Menjadi perdebatan. Biarlah. Biarlah menjadi teka-teki seperti misteri gunung merapi. Ih...ih...ih...

Dari manapun asalmu, Cepu akan selalu menerimamu, Kopi Kothok. Ai luph yu pull...!

13 Agustus 2013

Dendam

Ramadan sesungguhnya adalah bulan kenaikan harga. Dan bagi sebagian orang, merupakan bulan kenaikan berat badan.

Kita telah melewati Ramadan. Sudah menang. Kenapa menang? Oh iya ya. Kenapa? Fitri artinya suci, bukan menang. Siapa bilang Idul Fitri artinya Hari Kemenangan? Wah ini. Biar para ahli bahasa yang kaji.

Kembali lagi soal bulan kenaikan; harga dan tentu saja berat badan tadi. Entah kenapa matematika saya jadi kacau. Lantaran kenaikan harga berbanding lurus dengan kenaikan berat badan. Umumnya kenaikan harga bikin orang berhemat. Dengan kata lain belanja dikurangi. Artinya asupan gizi juga turun. Kalau dulu minum susu 3 gelas perhari, kali ini Cuma 1 gelas saja. Tapi ini kok...?

Coba kita lihat dengan kacamata ekonomi. Pakai hukum supply & demand. [1] Semakin tinggi penawaran, semakin rendah harganya. Berarti semakin banyak barang, harga semakin murah. [2] Tapi semakin tinggi permintaan, semakin tinggi harganya. Berarti semakin banyak yang mau beli, harganya semakin tinggi.

Nah ketahuan.

Harga-harga meninggi karena makin banyak yang mau beli. Karena permintaan naik. But why? Kenapa permintaan naik? Bukannya di bulan Ramadan kita dianjurkan mengurangi porsi hari-hari biasa? Kalau hari-hari biasa makan 3 kali sehari, di bulan Ramadan cukup 2 kali sehari pas sahur dan buka. Tapi yang terjadi...?

Ternyata, kita memang mengurangi porsi dari 3 menjadi 2. Tetapi bobotnya sama. Awalnya 3 porsi sama dengan 3 piring, saat Ramadan 2 porsi sama dengan 3 piring juga. Dirapel waktu berbuka. Bahkan lebih dari 3. Ini namanya balas dendam.

Dendam memang tidak baik. Buktinya berat badan jadi naik. Tentu saja kenaikan ini tidak sehat. Karena lemak menumpuk akibat makanan masuk tapi menganggur. Hayo ngaku siapa yang selesai santap sahur/buka langsung tidur? Mestinya dibakar, bukan disimpan di lipatan perut.

Jadi ingat postingan saya tahun lalu tentang lebaran (baca), terminalnya kolesterol tahunan. Dan beberapa waktu lalu ada twit:

@jo_defretes: The constant battle (is) always between human and cholesterol, not devil :))

Tapi kolesterol ini cuma senjata yang digunakan setan saja. Musuh utama manusia tetap setan itu sendiri. Persis seperti apa yang terjadi pada Adam & Hawa. Setan menyodori buah khuldi sebagai senjata. Dimakan, lalu manusia diusir dari surga.

Pokoknya senjata setan akan menjauhkan kita dari surga. Dendam termasuk di antaranya. Naudzubillah min dzalik.

11 Agustus 2013

Seimbang

Menyambung postingan sebelumnya; Logika Matematika, sesuai janji saya.

Yah, setelah menunda dan menunda. Karena memang tidak enak sekali saat kita ditarget untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Sekarang saya tahu rasanya dikejar-kejar deadline. Deadline yang saya ciptakan sendiri. Yang tidak "line" sebenarnya. Karena saya tidak menentukan tanggal. Hanya saja saya terlanjur membuat pagar, "Saya janji akan saya sambung lagi di postingan berikutnya.". Walhasil, uneg-uneg lain yang ingin ikut nangkring jadi terpending. Daripada jadi bottle neck, lebih baik segera diselesaikan. So, here is it....

Matematika tidak bisa berdiri sendiri. Logikapun begitu. Sama kasusnya dengan Intelligence (Quotient) yang harus bekerja bersama Emotional dan Spiritual. Saya banyak mengenal ini lewat ESQ Way yang dipopulerkan Ary Ginanjar. Meski akhirnya metode yang digunakan menjadi perdebatan banyak pihak (bahkan MUI-nya Malaysia sampai menyatakan sesat), tetapi harus diakui ESQ Way membuka mata kita bahwa ada yang tak kalah penting di samping kecerdasan intelektual.

Jika tubuh kita ibarat perangkat komputer, maka kita butuh Operating System (OS) untuk menjalankan. OS inilah yang kemudian akan banyak mengambil peran. Mau disuntik hardware baru atau diinstal software tambahan, tidak jadi soal. Yang penting OS-nya settled.

Dari sisi intelligence harus kokoh. Supaya tidak keblinger juga diperkuat dengan emotional. Dan untuk mengendalikan dibutuhkan pula spiritual. Atau ditambahkan yang lain. Tergantung OS-nya. Windows, Linux, Macintosh, atau apa saja.

Operating System beserta softwarenya bisa diupgrade. Bahkan sekarang hardwarepun diperjualbelikan. Lihat saja di Korea. Di sana tidak ada hidung pesek. Semuanya mancung. Semua cantik. Untuk hardware ini yang penting wani piro?

Karena OS bisa diupgrade itulah semua orang berkesempatan mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti Erbe Sentanu tulis dalam Quantum Ikhlas, "Default factory setting (baca: fitrah) semua manusia adalah untuk berhasil, Tuhan menciptakan manusia bukan untuk mengalami kegagalan, kegagalan itu bukanlah nasib, melainkan serangkaian keputusan yang kurang tepat, dan selalu bisa di-reset, diputar kembali ke arah keberhasilan". Nah, panjang lebar!

Singkatnya, manusia butuh keseimbangan untuk mencetak file sesuai desain yang dibuat sebelumnya. Sesuai keinginannya. Baik itu cita-cita, visi, impian, dan sebagainya.

Pada dasarnya kehidupan inipun diciptakan dengan hitung-hitungan yang sungguh seimbang. Di hutan Sumatera ada 1000 harimau, 10.000 rusa, 100.000 hektar padang rumput. Misalnya. Tetapi tangan kita, manusia, lah yang merusak segala keseimbangan kehidupan.

Di Jakarta sudah tidak terhitung lagi banyaknya asap buangan knalpot dari ribuan kendaraan yang berkeliaran di sana. Kita penuhi kota dengan kuda besi tanpa memperhitungkan kapasitas jalanan, mengabaikan pohon yang harus bekerja keras membersihkan udara, melupakan lahan parkir yang ada, lupa cadangan bahan bakar, dan seterusnya-dan seterusnya. Cilaka!

Ya, itu memang di Jakarta. Tapi belum tentu di daerah lain kondisinya lebih baik. Lagipula Jakarta ibukota Negara. Jadi, Jakarta merupakan muka Indonesia. Wajah dianggap cukup buat merepresentasikan tubuh secara keseluruhan. Meskipun Bali lebih dikenal ketimbang Jakarta, sih.
Ah, akan sangat panjang sekali jika kita menguraikan betapa berengseknya negeri kita tercinta. Belum lagi di pedalaman Kalimantan yang tertinggal, sungguh timpang. Entah dari mana kita harus mulai membenahi keseimbangan negeri ini.

Ketimpangan ini bukan Cuma persoalan Indonesia yang kebetulan banyak boroknya. Tetapi juga semua yang menghuni bumi. Kabarnya, di India, sudah kerepotan menangani kotoran manusia, tinja. Tidak lama lagi kelangkaan air bersih atau bahkan udara mungkin saja menghantui. Ngeri!

Saya bukannya mengimani film-film Hollywood. Tetapi akan sangat mengerikan jika masa depan bumi seperti yang tergambar dalam film Wall-E. Apakah kita siap menghadapi zaman di mana bumi tak lagi memiliki daratan seperti di film Waterworld? Bagaimana dengan The Day After Tomorrow? Atau seperti film Earth 2100 tentang kehancuran bumi akibat tangan manusia? Ah, saat tiba hari itu aku pasti sudah mati. Kiamat.