22 Desember 2012

Mak Erot

Orang, saking obsesifnya "out of the box", perayaan hari yang cuma setahun-sekali pun dibilang latah.

Hari Ibu, misalnya saja. Makin ramai pembicaraan di ruang publik soal Ibu, makin banyak orang berkampanye mengolok-olok peraya 22 Desember. Katanya cuma ingat Ibu di hari itu saja, ada juga yang bilang korban trend, bla-bla-bla.

Padahal menurut kesimpulan saya, ramai-ramai mengolok peraya hari macam itupun termasuk aliran latah juga.

Perhatikan. Obsetor "out of the box" ini kenapa berlatah-latahan merayakan Idul Fitri? Kenapa jadi korban trend Natal? Atau Waisak juga Nyepi? Inkonsistensi? Bisa jadi.

Kembali pada apa yang saya tulis sebelumnya, soal valentine. Hari macam ini sekadar reminder. Seperti Hari Raya Idul Fitri yang mengingatkan kita untuk saling memaafkan. Tapi apakah artinya meminta maaf atau memaafkan hanya kita lakukan saat Idul Fitri tiba saja? Sama juga Hari Ibu. 22 Desember cuma reminder.

Merayakan atau tidak bukan soal. Asal tidak saling sikut. Saling sikut juga boleh, tapi jangan menyikut orang yang tak mau disikut. Kalau bersikeras menyikut ya silakan saja, resiko tanggung sendiri (pasti). Karena ratusan LSM siap menggonggong (hush!) memperjuangkan si tersikut. Human right, katanya. Mereka sudah seperti Hachiko saja. Royal. Eh, bukan, maksud saya (uhm) loyal (uhuk).

Kembali menyoal hari Ibu dan kemenakannya (maksudnya hari valentine, hari bumi, hari batik, dkk itu). Padahal kita tidak sedang merayakan. Me-raya-kan. Mem-besar-kan. Membesarkan. Kita cuma mengingat saja. Tapi terlanjur jadi perayaan meski tidak dibesarkan, terpaksa obsetor "out of the box" membesar-besarkan perkara yang sebenarnya sederhana saja-kalau tidak mau disebut kecil. Saya curiga mereka pewaris Mak Erot. Atau bekas pelanggan-malah masih.

Sudahlah, selamat membesarkan!

21 Desember 2012

Jaman

"Kita orang Islam belum mampu menerjemahkan kebenaran ajaran Islam dalam suatu program pencapaian. Antara ultimate values dalam ajaran Islam dengan kondisi sekarang memerlukan penerjemahan-penerjemahan. Dan ini tidak disadari. Di situ mungkin kita akan banyak berjumpa dengan kelompok pragmatisme, tapi jelas arahnya lain. Karena seperti itulah kita menjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha pencapaian dan cenderung ekslusif.

Terus terang, aku kepingin sekali bertemu sendiri dengan Nabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku sudah kurang percaya pada orang-orang yang disebut pewaris-pewarisnya." (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian, penerbit LP3ES, Jakarta 1981)

Saya muslim (meski pernah dikata-katai; sampeyan ini orang kebatinan atau animisme? kok sepertinya gak kenal Tuhan? -di Twitter), tapi tidak sefanatik (yang mengaku) penerus Kartosoewirjo yang keblinger. Maka sikap keras menjadikan negeri ini negara Islam bagi saya adalah lelucon. Merupakan keputus-asaan prematur yang ke-amrik-amrik-an.

Bahwa sebuah lantai paling bawah bernama lantai 1 (satu) yang menandai kebebasan tanpa diawali lantai 0 (nol) sebagai lapisan yang sudah terbentuk jauh-jauh hari dan sebab itu tidak perlu lagi dihitung, adalah pemahaman Amerika. Berbeda dengan Eropa yang menyertakan nama 0 (nol) sebagai lantai dasar. Meminjam pendapat Slavoj Zizek mengenai Amerika, "negeri yang tanpa tradisi sejarah yang sepatutnya".

Jadi kamu baru saja menjadi Amerika (yang liberal dan kamu benci) dengan mengamini Indonesia sebagai negara Islam. Segala gegar sejarahmu sah dimaknai salah kaprah. Karena kamu lupa pada tradisi sejarah yang sepatutunya di bumi pijakmu.

Kata Goenawan Mohamad, "Kemarahan kepada dunia modern adalah kemarahan kepada perubahan yang makin cepat. Dengan kata lain, kepada sesuatu yang tak terelakkan." Itulah kemarahanmu.

Kartosoewirjo pelopor DI-TII yang menggalang kekuatan membentuk negara Islam, bisa kamu temukan hari ini dalam wujud Rhoma Irama yang mengeluarkan pernyataan tentang keinginannya "nyalon" presiden. Semangatnya pantas kita apresiasi.

Bang Haji tampil menampar kejenuhan kita. Ketika partai-partai kendaraan "nyalon" telah mendeklarasikan capres yang diusungnya, ketika orang sudah tamat membaca panggung panas itu sebelum pentas dimulai, ketika kejenuhan-kejenuhan publik pada lakon tak lagi terkatakan, Rhoma Irama muncul dengan sangat sensasional.

Khusus bagi muslimin-muslimat, sunnah rosul adalah apa yang terjadi dulu. Jangan kelewat syar'i tapi lupa inti. Jangan mengaku penerus nabi tapi tidak mewarisi spiritnya. Itu sunnah dalam pemahaman saya.

Tentang Rhoma Irama, Putu Setia menulis, "Bang Haji, tetaplah tampil untuk selingan di tengah karut-marut politik ini. Namun pada saatnya nanti, ketika pertarungan berebut jabatan presiden tiba, lupakanlah niat jadi capres itu. Zaman sudah berubah."

Jaman sudah berubah!

07 Desember 2012

Omelan

Desember. Bulan yang melankolik. Kata Cholil (Efek Rumah Kaca), selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam. Benar memang. Bulan ini membuat setiap orang berelegi, meskipun cuma dalam hati. 

Saya jadi asik melamun. Menikmati sisa hujan atau gerimis. Tanpa secangkir kopi. Tanpa pelangi. Merenung dan bertanya, mengapa Tuhan mengirim saya ke sini. Ke tempat ini. Mengapa bukan tempat yang lain. Akan dibentuk menjadi manusia yang bagaimana saya ini. 

Ingatan saya tidak terlalu kuat, sekuat Irex atau Purwoceng, tidak. Tapi saya masih mampu mengingat, bahwa saya sudah banyak mengomel. Dan karena tidak terlalu kuat itulah saya tidak tahu sudah berapa kali mengomel. Bisa juga karena keterlaluan banyaknya.

Kadang saya berpikir, memangnya siapa yang saya omeli itu. Pantaskah saya mengomel. Adilkah jika korban omelan saya itu menjadi sasaran ketus yang inferior. Tapi beberapa kali atau malah banyak kali saya merasa harus mengomel. Jadi, dalam waktu super singkat omelan saya menjadi terasa mutlak benar. 

Saya bukannya tak paham, omelan saya akan membawa omelan berikutnya pada orang yang tak tahu apa-apa. Suami/isteri orang yang saya omeli misalnya. Omelan dari orang pertama pada orang ke dua, seringkali menjadi omelan dari orang ke dua pada orang ke tiga. Dan seterusnya. Maka, maafkanlah saya Bu, Pak, Om, Dik, semua saja. 

Karena, asal tahu, saya tak selalu menjadi orang pertama yang mengomel. Bisa jadi saya orang ke dua yang di omeli orang pertama. Dan karena saya merasa mengemban tugas mengomel pada orang berikutnya, maka berlanjutlah rantai omelan itu. 

Beberapa saat situasi ini seperti keruh, tapi kelak kita akan sama-sama menyadari bahwa mengomel bukan cuma mengandung omelan belaka. Ada pesan-pesan tersembunyi yang harus kita pelajari. Dari itulah rantai omelan sulit terputus. Kodratnya yang nomaden dari orang pertama ke orang berikutnya telah tertulis di kitab kehidupan kita. 

Bagi sebagian orang omelan layaknya kentut. Ditahan menjadi penyakit. Kembung, dan lain-lain. Maka sungguh bukan perkara sederhana menikmati omelan betapapun menyakitkan kedengarannya. Seperti orang yang ikhlas dihadiahi kentut, bahkan saat santap makan siang. Selamat menikmati.