22 Oktober 2010

Bagaimana Menulis Itu

Saran buat teman-teman yg suka tanya sama saya “bagaimana menulis itu?”, adalah dengan menjadi diri sendiri. Sebenarnya pertanyaan itu totally salah alamat. Saya bukan penulis, bukan penyunting naskah, bukan redaktur manapun. Mungkin karena tulisan-tulisan saya terlanjur eksis dalam otak anda sehingga mindset anda menganggap saya adalah penulis. Celakanya lagi dianggap professional. Bukan, saya sama sekali bukan penulis professional. Meskipun memang ada tulisan-tulisan saya yg dimuat di media masa nasional, tapi sepeser pun saya tidak pernah menerima royalty dari siapapun. Lagi pula hidup saya tidak didedikasikan untuk menulis. Itu artinya saya memang bukan penulis professional. Dengan kata lain, profesi saya bukan menulis.
Karena pertanyaan itu ditujukan pada saya, maka saran-saran saya hanya akan berkutat pada area pengalaman pribadi saya. Mungkin terlampau subjektif dengan standar nilai saya. Tapi kita semua tahu, semua orang memiliki standar nilai masing-masing. Jadi, bandingkanlah dengan standar nilai anda. Tapi tidak perlu ada reaksi berlebihan jika ternyata nanti anda temukan pernyataan yg amat distortif dengan pendapat anda. Berikut sedikit saran dari saya.

Memang theme suggestion saya adalah menjadi diri sendiri, be your self. Tapi untuk menjadi diri sendiri dibutuhkan beberapa step dan proses. Manusia tidak terlahir dengan selera mutlak dan kemampuan laduni. Karena itu dikenal adanya identifikasi diri, pengembangan kepribadian, dst. Begitu lahir saya tidak serta merta memiliki selera bahasa dan kemampuan menyampaikan pesan. Butuh proses bertahun-tahun untuk menciptakan selera dan kemampuan saya, dan dengan keteguhan hati kemudian saya menyatakan “inilah diri saya”. Bagaimana saya menjadi pribadi yg sekarang, 2 tahun lalu, atau besok. Banyak influence variable-nya. Dan setiap orang pasti memiliki variable masing-masing.

Untuk menemukan ide, duplikasilah orang lain. Bukan soal. Seorang koki pandai memasak karena dididik di dapur, bukan di lapangan sepak bola. Biasakan diri anda dengan gaya penulis sesuai selera anda. Carilah referensi sebanyak-banyaknya. Dari artikel, puisi, lirik lagu, prosa, novel, apa saja. Dari sekian banyak referensi, temukan yg menurut selera anda unik. Mungkin dari 50 referensi ada 30 yg unik, atau bahkan hanya ada 3. Baca berulang-ulang sampai anda menemukan alasan mengapa anda menyukai tulisan tersebut. Pahami caranya memilih kata, menyusun kalimat, mengupas kasus, dst sampai anda mengerti perbedaannya dengan gaya tulisan yg tidak sejenis. Kemudian biarkan melekat pada otak anda. Baru anda menjelajah ke referensi lain.

Dari sana anda dapat membentuk keunikan sendiri. Hasilnya saya jamin, tidak akan sama persis dengan referensi anda. Bahkan bisa jadi melebihi referensinya. Sampaikan sesering mungkin bentuk yg anda dapatkan dengan apapun. Tugas kuliah, mencipta lagu, atau mungkin membuat gombalan untuk pasangan.

Untuk mendukung keunikan anda, perkayalah perbendaharaan kata. Saya sarankan kali ini di meja anda ada kamus-kamus tertentu. Jadi ketika ada kata yg terlalu sulit dijelaskan dengan bahasa Indonesia, carilah kata yg relevan dalam kamus. Cara ini sekaligus menguji kepandaian anda menemukan esensi kata. Andaikan kata yg akhirnya anda pilih pun tidak lazim, tidak jadi masalah sejauh anda dapat menerangkan substansinya. Dari sini tulisan anda akan terkesan lebih intelek.

Selanjutnya buatlah istilah sendiri. Istilah yg menurut anda “keren”. Seperti istilah “makelar kasus, mafia hukum, atau joki yg beraksi di jalur three in one”. Tapi berhati-hatilah menggunakan istilah. Jika dirasa susah dipahami maka perlu ada penjelasan di awal. Tahap ini peran kamus juga sangat dibutuhkan. Pilih sesuka anda yg penting relevan.

Tapi, satu-satunya cara agar tulisan anda terlahir adalah dengan berani. Jangan takut salah, meskipun harus ada kehati-hatian ekstra dalam menuliskan kalimat. Anda harus benar-benar paham esensi kalimat anda. Jangan khawatir tidak sesuai EYD, tapi harus dengan pertimbangan matang. Kalaupun harus melanggar EYD, itu bukan dosa. Bawa tulisan anda sesuai selera anda. Sense of art-nya sejalan dengan kemauan anda. Tidak perlu terlalu mempedulikan EYD atau tata bahasa. Yang penting enak anda baca dan cukup mengalir. Jangan takut dikritik, tapi siapkanlah jawaban dari kritikan yg mungkin muncul.

Untuk kasus yg diangkat dalam tulisan, tidak perlu kasus yg berat dan rumit. Ambil saja satu komponen kasus yg menurut anda sederhana. Tapi cari unsur terdalam kasusnya, atau putar otak anda agar kasus tersebut menjadi menarik untuk disimak. Dari satu kasus sederhana galilah kompleksitasnya.

Setelah itu, buatlah diri anda puas dengan hasil kerja anda. Jika belum puas, tidak ada salahnya direvisi. Dengan begitu anda telah menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri memang butuh meniru, menjiplak, mempengaruhi, dan apapun namanya itulah proses membentuk diri. Pada akhirnya kita akan menemukan jati diri kita juga dengan cara apapun. Perlu saya ingatkan, seorang koki pandai memasak karena dididik di dapur bukan di lapangan sepak bola. Mana mungkin dia dapat membuat sambal jika sebelumnya belum pernah melihat cabai, bawang, garam, terasi dst.

Semua orang memiliki selera masing-masing. Dan bagi yg bertanya pada saya “bagaimana menulis itu?” mungkin karena seleranya seperti tulisan saya. Inilah sedikit jawaban yg bisa saya berikan sesuai pengalaman pribadi saya. Bukannya sok pintar, saya tahu banyak sekali penulis yg tulisan-tulisannya lebih hebat dari pendapat saya. Tapi piker tidak masalah jika saya berbagi pengalaman. Saya pun menggemari tulisan-tulisan orang lain. Bahkan tulisan orang yg jauh lebih muda dari saya. Karena selera saya memang harus begitu. Semoga bermanfaat.

19 Oktober 2010

Tembalang Padat

Aktivitas perkuliahan semester ini baru saja dimulai. Hampir serentak oleh seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Membuat banyak orang beramai-ramai memadati area kampus.

Saya menyororti daerah Tembalang-Semarang, karena saya mahasiswa Politeknik Negeri Semarang yg lokasinya di Tembalang. Di sini ada beberapa kampus; Universitas Diponegoro, Politeknik Negeri Semarang, Politeknik Kesehatan Semarang, dst.

Seperti area kampus lain, Tembalang mulai padat kendaraan. Tapi ada sesuatu yg sangat berbeda hari ini. Kepadatan lalu lintasnya nyaris tak terampuni (pada jam-jam tertentu). Tahun lalu, pada jam-jam biasa lalu lintas di Tembalang sangat lancar. Hari ini, pada jam biasa saja terlihat semrawut. Apalagi pada jam sibuk, kemacetan bisa sampai ratusan meter. Sangat panjang untuk ukuran Tembalang yg hanya memiliki jalan raya beberapa kilometer saja.

Tahun lalu, dari Jalan Baskoro Raya menuju Tirtoagung hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit. Beberapa hari yg lalu, saya harus bersabar terlibat dalam kemacetan sampai setengah jam lebih. Bayangkan, untuk jarak yg tidak lebih dari 500 meter saja harus berada di tengah deru kendaraan-kendaraan besi 3x lebih lama dari yg dibutuhkan pada kondisi normal. Mobil-mobil antre menunggu giliran untuk mendapat peluang menggerakkan roda. Semua linglung dan tidak berkutik. Kikuk. Belum lagi ketegangan yg sering tercipta akibat senggolan antar kendaraan.

Biar saya pertegas, kemacetan dari Jalan Baskoro Raya menuju Tirtoagung saya alami sendiri, dan dengan mengendarai sepeda motor. Bisa dibayangkan berapa lama jika mengendarai mobil. Berapa jam untuk menuju daerah Ngesrep.

Mulai semester ini Undip memindahkan beberapa fakultas yg dulu berada di Peleburan ke Tembalang (kabarnya, hampir seluruhnya akan dipindahkan ke Tembalang). Apapun alasannya, tidak diragukan, inilah yg paling layak dituding penyebab kepadatan Tembalang, utamanya kepadatan lalu lintas. Pasalnya, sebelum pemindahan ini, kemacetan lalu lintas di Tembalang langka dijumpai. Barangkali hanya 2x dalam setahun. Sekarang, hampir setiap hari selalu dapat ditemui antrean panjang kendaraan. Kemacetan ini tentu saja disebabkan kenaikan volume kendaraan di Tembalang.

Jika kepadatannya disebabkan pemindahan Undip, lalu apa penyebab kemacetannya? Apakah karena Undip tidak memperhitungkan daya tampung infrastruktur Tembalang yg sempit ini? Bayangkan, jika 1 kelas Undip terdapat 1 saja mahasiswa yg membawa mobil ke kampus, ada berapa ratus mobil yg siap memacetkan Tembalang.

Atau Pemkot kurang memperhatikan pertumbuhan di Tembalang? Tidak ada rambu lalu lintas (lampu) hampir di seluruh persimpangan jalan. Mungkin kemacetan ini dianggap masih wajar.

Mungkinkah polisi yg kurang sigap? Untuk yg ini saya rasa bukan lagi pertanyaan yg tepat. Karena belakangan personil polisi sudah ditempatkan di beberapa persimpangan untuk mengatur lalu lintas.

Apa yg bisa diperbuat sipil seperti saya kalau bukan mengeluh. Mudah-mudahan Tembalang segera sehat. Kalau masih harus macet, itu pasti karena volume kendaraannya memang terlampau padat.