06 Oktober 2015

Hakikat

Semakin berusaha mencari makna, semakin mudah kehilangan rasa. Saya tak hendak bicara mecin. Kecuali kalau ada yang berminat meng-endorse. Tak apalah jadi buzzer, yang penting harganya cocok.

Sudah puluhan kali membaca karya Putu Wijaya, bukunya “Klop” terutama. Salah satu isinya bercerita tentang setan yang mengeluh. Iri pada manusia. 

“Mengapa kalau manusia mau menjadi setan kok gampang amat. Asal mau, kapan dan di mana saja, jreng-jreng-jreng jadi. Kalau tidak bisa, banyak gurunya. Bahkan, otodidak saja sudah bisa. Cukup dengan niat, dengan melakukan secuil kejahatan, manusia sudah otomatis menjadi setan. Paling sedikit disebut ‘setan’. Tetapi sebaliknya, mengapa kami, para setan, untuk bisa jadi manusia kok alot men. Edan!”

Dulu sederhana saja untuk menikmati sepenggal gugatan setan itu. Tak butuh alasan atau deskripsi musabab yang harus dapat diterima. Tapi kini menjadi sulit sebab berupaya menelusuri hakikatnya. 

Ada lagu bagus dari Float, berjudul Sementara. Bercerita tentang seseorang yang berbicara dengan hatinya sendiri. Begitu intim. Macam Bima dengan Dewa Ruci. Tapi itupun kesimpulan yang saya ambil belakangan. Orang lain boleh punya pendapat yang berbeda. 

Mulanya, beberapa tahun lalu, saya sekedar menikmati lagu itu. Pola liriknya yang tak saya mengerti tak menjadi persoalan. Bahkan mungkin karena itu saya mudah suka. Lama-lama saya cari maknanya. Menerjemahkan ke dalam bahasa yang dapat saya terima. Perlahan-lahan Sementara jadi membosankan. 

Barangkali menikmati lagu tak harus dengan mencari tahu. Apakah diiringi paduan nada di skala pentatonik, menggunakan distorsi yang keluar dari pick-up tunggal, dibelokkan oleh teknik bending, vibra, atau termolo. Mungkin itu tak perlu.

Dalam tradisi Ibrahimi, 3 agama besar samawi (yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam) saling berpaut tapi jelas dipisahkan oleh jarak-iman. Kitab-kitabnya (Zabur “Mazmur”, Taurat “Perjanjian Lama”, Injil “Perjanjian Baru”, dan Quran) secara konsisten dan berurutan diperbarui berdasarkan konteks zaman tetapi disangkal kemudian.

Isa AS/Yesus, misalnya, yang mengkritik kekakuan cara pandang kaum Yahudi-Farisi (pengikut Musa AS), di kemudian hari ‘memperbaiki’ teks lama-yang sudah ada. Cerita yang dikisahkan dalam kitab pendahulunya pun diadopsi, tapi selanjutnya dipertentangkan. Begitu seterusnya sampai pada Quran.

Kabarnya kaum Yahudi-Farisi, pengikut Musa AS, yang dikritik oleh Isa AS/Yesus kini ‘menjelma’ menjadi bigotry. Kabarnya.

Taklid buta dituding menjadi penyebab utama. Meniru paham tanpa mengetahui dasar, hukum, bukti, atau alasan. Itu biasa terjadi di kalangan awam. Tak berlaku pada orang-orang yang telah mempelajari sisik meliknya. Pada mereka lebih soal penggunaan teks yang mengabaikan konteks.

Tak mengherankan bila kemudian ada yang menentang dengan pendapat perlunya logika dalam beragama. Karena sejatinya manusia adalah hewan yang berakal, al insanu hayawan nathiq. Tanpa akal manusia adalah hewan.

Namun merayakan akal budi bukan tanpa resiko. Pada batas tertentu mudah membuat manusia tergelincir menuhankan daya pikir.

Dari situ ada orang-orang yang menikmati iman dalam kerangka rasa. Bukan berarti meninggalkan hakikat dan makna. Karena rasa menyertai kemanusiaan pada dasarnya. Dan agama harus kembali untuk kemanusiaan pada akhrinya.

Saya mengamini pendapat, seharusnya kita tak mengukur kualitas agama seseorang berdasarkan caranya beribadah, melainkan caranya memperlakukan sesama. Begitu kira-kira.

Mohon maaf melipirnya cukup jauh. IYKWIM.