09 September 2014

Sembahyang

"Sampean ini lebaran apa natalan, toh?" Tanya seorang rekan dengan serius, "Kok saya ndak pernah lihat sembahyang...?"

Begini, Kisanak. Sembahyang itu terdiri dari 2 kata. Sembah dan Hyang (Tuhan). Kita mau membicarakan ini di tatar syariat, makrifat, apa srimulat? Mesti sependapat-sepemahaman dulu sebelum berdiskusi. Supaya tidak jadi sambal bawang rasa terasi.

Ada kawan saya yang kemana-mana pakai peci, celana cingkrang di atas mata kaki, jenggot panjang. Orang bilang dia rajin sembahyang.

Juga ada yang pasang foto Yesus melulu di internet, kutip surat ini-surat itu jadi status. Orang bilang dia rajin sembahyang.

Konon, seorang Semar dalam tidurpun sedang sembahyang. Bahkan, sebuah pantai wisata bernama Kuta di Bali, yang pernah kebanjiran sampah itu ternyata tempat sembahyang pula.

Apakah Tuhan ada dimana-mana? Di jalan, di internet, di dalam tidur, di tempat wisata, di mana-mana. Jadi tidak perlu repot ke masjid, gereja, pura, wihara, atau yang lainnya. Bisa di mana saja.

Di pesawat sering ada wanita komat-kamit terutama saat turbulence. Sekali waktu saya ingin iseng mengageti, "Tuhan bersama kita!"

Seandainya sampean tidak pernah berjumpa dengan seseorang di suatu gereja, Kisanak, mungkin dia beribadah di gereja lain. Itu kalau kristiani. Kalau muslim tidak solat ke masjid, bisa saja dia berjamaah dengan keluarganya di rumah.

Bahkan ada yang diam-diam sembahyang di kamar. Sengaja supaya orang-orang sebelah yang menonton bola tidak sungkan. Sehingga teriakan dari jiwa supporternya lepas. "Gol...!"

Ada lho, yang kalau baca quran dikencang-kencangkan agar orang di sekitar tenang. Sudah begitu, bacanya lama. Ternyata baru belajar. Itu belum wiridnya. Semua dibaca. Mulai ayat kursi sampai salawat nariyah. Kalau perlu khataman 30 juz. Doanya dari surat waqiah sampai sapu jagad tak ada yang ketinggalan. Jadi orang satu RT tahu dia sembahyang.

Ya tidak apa-apa. Orang kan beda-beda. Lain ladang lain belalang. Kalaupun belalangnya sama di semua ladang, asal ada sumur di sana bolehlah kita menumpang mandi.

Beda mereka, beda saya, Kisanak.

Saya kalau berdoa memang singkat saja. Rasanya sungkan. Karena makin lama kian mendikte. Takut kurang ajar sama Tuhan.

04 September 2014

Tertawa

Pertama kali saya menulis mungkin sewaktu TK. Untung saat itu belum mengenal media sosial. Betapa memalukannya jika memposting tulisan yang tidak rapi. Dokter saja membaca tulisan saya bisa gumoh semalaman.

Akun media sosial saya yang pertama adalah Friendster. Sekitar tahun 2006 atau 2007. Maklum, ABG masa itu. Biar dibilang trendy. Kalau online mesti ke warnet dulu. Bayarnya 3000 untuk 1 jam. Lumayan buat stalking profil gebetan.

Seiring berjalannya waktu, saya juga berjalan. Supaya sehat. Maksudnya, berusaha mengikuti perkembangan zaman. Ada Facebook, Youtube, Instagram, dan seterusnya yang entah berapa sekarang jumlahnya. Malah ada biro jodoh online segala. Bukan, saya bukan anggotanya. Cuma sempat mengintip sedikit saja. 

Saya 'kan tidak ikut begituan juga sudah laku. Kalau tidak ya obral.

Main media sosial kurang afdol kalau tidak pernah alay. Benar, saya juga pernah selfie dengan angle dari atas sambil manyun. Anak sekarang bilang sweet duck. Masih ada setumpuk foto itu di album Facebook. Sengaja tidak saya hapus. Supaya ingat, saya pernah se-menjijikkan itu. Bahan cerita buat anak cucu.

Dari sekian banyak akun terdaftar di media sosial, saya paling suka Blogspot. Di sini fluktuasi kejiwaan saya terdokumentasikan dengan cukup rapi. Misalnya, mudah melacak kapan hidup saya dikelilingi puisi. Ada juga masa-masa dimana rasanya ingin bunuh diri. Tapi akhirnya lewat blog saya berusaha menulis lebih serius. Menuangkan pemikiran-pemikiran canggih masa kini. Tampil berkelas. Sok pintar. Kutip sana-sini.

Tapi, lho, malah dianjurkan menulis buku komedi. "Cocok genrenya!" Kata seorang kawan.

Mestinya saya tersinggung. Orang sudah peras otak sampai mengkerut kok dikira sedang melawak. Dagelan itu biar jadi spesialisasi arek Srimulat. Tugas saya memberi pencerahan pada anak muda supaya tidak sesat. Bukan melawak.

Atau, apakah pelajaran hidup yang paling serius adalah lawakan? Belajar menertawakan orang yang gontok-gontokan membela agama. Menertawakan artis yang operasi plastik agar hidungnya lancip mirip tanduk rusa. Menertawakan semuanya. Meski ternyata yang ditertawakan itu diri sendiri.

Barangkali dunia ini hanyalah panggung komedi. Dan tingkat spiritual tertinggi adalah mampu menertawakan diri sendiri.

Ah itu filosofi hiburan. Gaya politisi cari makan. Diplomasi negara keok perang. Yang jelas semangat menulis saya runtuh lantaran saran teman tadi. Padahal tulisan ini demi kemaslahatan umat.

Biarpun sepertinya umat sudah cukup dewasa. Mungkin mereka bisa tanpa saya. Iya, mungkin bisa. Ah, lebih baik saya bunuh diri saja. Dengan cara yang tidak terlalu menyakitkan...

*tahan napas*

01 September 2014

Menua

Ternyata hari ini tepat beberapa tahun yang lalu saya dilahirkan. Berapa tahun? Ah, rahasia.

Oke, oke, 17 tahun yang lalu.

Jadi teringat banyak kejadian di 1 September sebelum-sebelumnya. Dilempar tepung, diteplok telur, diguyur air. Boleh juga ditambah irisan wortel dan kol, juga beberapa sendok garam. Supaya mirip adonan bakwan.

Tetapi sekarang bukan masanya. Mungkin saya tidak muda lagi. Ratusan ucapan di wall Facebook, telepon tengah malam, puluhan SMS, itu semua masa lalu. Hari ini berbeda. Malah saya terpaksa pasang kode persis paragraf pembuka di atas itu menjadi status BBM, FB, juga Twitter. Berusaha mengingatkan kawan-kawan.

Akhirnya ada juga yang mengucapkan selamat ulang tahun. Semoga umur panjang, rezeki lancar, dan yang paling menyebalkan cepat nikah. Whatever, terima kasih, Bro, Sist, Mas, Mbak, Dik, Kang, Yu, Pak, Bu, Tante, pokoknya semua. Doakan saja sakinah mawadah warahmah, dan segera diberi momongan. Eh, ini jadi mirip ucapan buat pengantin baru. Salah fokus. Maaf.

Di umur yang sekarang ini harapan saya tidak banyak. Cuma sekiranya menjadi prioritas... semoga Chelsea Islan segera luluh hatinya. Sehingga kami dapat mengundang sampean-sampean di hari bahagia itu. Mohon doa restu.

Sebagai penutup… bukan, saya tidak akan menyanyikan sebuah lagu. Karena bagi saya satu buah saja tidak cukup. Harus ditambah 2 biji. Iya, saya memang penggemar buah-buahan dikotil.

Baiklah, ini penghibur diri. Selamat ulang tahun. Atau lebih tepatnya selamat memperingati hari kelahiran. By the way saya tidak setua itu. Lagipula, age is just a number. Selamat menempuh hidup baru.