16 April 2014

Takut

Setiap makhluk dibekali rasa takut. Gajah, binatang yang demikian besarpun takut pada tikus. Memang cuma dongeng ala Disney. Tapi begitulah cara orang menggambarkan iman yang kadang tak bisa di-kata-kata.

Biarkan itu tetap menjadi keyakinan. Seperti kita meyakini gajah takut pada semut. Benarkah? Tanpa tahu kebenarannya, kita selalu mengimani. Buktinya tiap pingsut, kita sepakat bahwa jempol (gajah) kalah dengan kelingking (semut).

Pingsut menjadi doktrin yang begitu kuat melekat. Ditanamkan sejak dini sekali. Kita tidak pernah mempertanyakan. Apriori.

Gajah kurang besar apa? Makhluk darat paling besar yang pernah terekam sejarah. Kok takut semut.

Tapi saya tidak akan mendiskusikan kebenarannya. Jadi jangan bertanya.

Maka, tak heran pula manusia memiliki rasa takut. Yang justru belakangan menjadi alat serba guna. Ternyata. Bisa dijual dan dibeli. Yang penting, wani piro?

Ada rasa takut yang dipelihara demi langgengnya kuasa. Sampai 32 tahun.

Ada rasa takut yang disirami supaya laku itu dagangan air suci. Jimat, keris, mantra, dan kawan-kawannya lah pokoknya.

Tetapi, lho, ada orang yang mbalelo. Jangankan sama setan, sama macan saja tidak ada takut-takutnya. Apalagi kok cuma sama preman terminal. Kalau perlu dikudeta kekuasaan gali lokal itu. Entah dia lulusan padepokan mana.

Barangkali kalau ada perang, dialah yang maju paling depan. Yang seragamnya beda diganyang. Sikat habis-habisan. Tapi kita juga tidak tahu, bisa jadi dia mati duluan kena peluru nyasar. Kita tidak tahu.

Atas ketidaktahuan itulah, biasanya, manusia tetap menyimpan rasa takut. Sekecil apapun itu.

Ini yang disebut dengan taqwa. Tak peduli sekuat apapun kita, kita diminta bertaqwa. Takut. Ittaqullah (Arab); takutlah pada Tuhan. Kita tetap tidak tahu atas apa yang belum kita tahu.

Ittaqullah!

07 April 2014

Take For Granted

Seorang sahabat pernah menelpon saya. Cuma ingin bertanya apa maksud "take for granted".

Saya juga bingung. Apa tampang saya ke-dosen-dosen-an? Batin saya.

Tapi dulu kita memang sering berdiskusi. Dan karena saya lebih tua (sebenarnya cuma selisih 3 tahun), jadi barangkali dia anggap saya lebih bertanggung jawab atas hal yang tidak dimengerti.
Akhirnya saya menuakan diri. Dengan sok tahu, sampai bikin analogi.

Sahabat saya mendapat kata itu dari lagunya Maroon 5. Kalau tidak salah begini, "When you lifted me up, I take you for granted..."

Oke, dua kalimat itu memang saling berkaitan. Pertama "you lift me up", kedua "I take you for granted."

Analogi saya, seperti saat kita ditawari bekerja oleh perusahaan bonafit, katakanlah PT-X. Kita akan menyia-nyiakan PT-X. Atau menyepelekan, meremehkan, sok jual mahal, dan apapun namanya itu.

Kasusnya di sini, PT-X lifted you up. So, you take it for granted.

Keadaannya akan berbeda jika kita yang melamar bekerja di PT-X. Kita akan jauh lebih segan, tidak merasa di atas angin, dan jauh lebih menghargai PT-X yang sebenarnya memang bonafit itu.

Saya pernah membaca bukunya David J. Lieberman, juga sedikit menyinggung "taken for granted", arah penjelasannya pun ke sana.

Intinya, saat seseorang menyadari bahwa kita taken for granted, dia akan menyepelekan kita. Maka Lieberman dalam bukunya menyarankan supaya kita memberi bumbu atau kesan bahwa semua bisa terjadi, termasuk I'd leave you for a better one. Hukum ketidakpastian, kalau tidak salah.

Waktu itu saya memang update status BBM, "Never take someone for granted. Because you might wake up one day and realize that you've lost diamond while you were too busy collecting stones."

Kalimat yang juga saya dapat entah dari mana.

Pesannya, bahkan jika someone lifts us up, belum tentu dia batu kali. Mungkin saja dia berlian. Kita cuma mesti lebih menghargai orang-orang di sekitar kita.

Dan saat we take him/her for granted untuk mengumpulkan batu-batuan kali, kita mungkin saja kehilangan berlian yang tidak kita hargai tadi.

But #CMIIW