24 Mei 2012

Kejar

Seharian mendung. Jadi ingat kata Jubing Kristianto, “Once Upon A Rainy Day”. Produksi batubara dan OB tipis, tapi pengeluaran untuk site tetap jor-joran. Maaf, maksud saya sesuai planning. I have no idea. That’s not my business. In this case, I’m responsible for GA job, professionally. 

Dua minggu lagi saya cuti. Sebenarnya tidak genap dua minggu juga. Mestinya saya katakan ‘13 hari lagi’ saja. Baiklah, baru saja saya katakan. Paling tidak dengan hari lebih mudah dihitung berapa lama lagi saya harus menikmati rutinitas ini. Menikmati. Tapi sudahlah, ini bukan matematika. Kalaupun hidup ini adalah matematika, nyatanya 1+1 tak selalu sama dengan 2. Jadi?

Ada yang menarik di sini. Di tempat ini. Karena setiap hari melakukan hal yang serupa since the sun rises till it goes down (padahal menurut teori fisika, matahari tak pernah jatuh, cuma bumi yang berotasi. Heheu… What do I care?!), waktu jadi terasa sangat cepat berjalan. Jarum jam seperti berputar lebih cepat. Tahu-tahu sudah jam 6 lagi. Tahu-tahu sudah hari jumat lagi. Tahu-tahu….cuti lagi. 

Uniknya, dua minggu terakhir (menjelang cuti) justru terasa berjalan lebih lambat. Rasanya ingin memutar jarum jam secepatnya. Apa butuh baterai Alkaline supaya berputar kencang? Seperti kata Gatot Arifianto; ajarkan ruhku mematahkan jarum jam. Ah tapi kalau patahnya jarum jam sama dengan berhentinya rotasi bumi, mandeg, lebih baik terus berputar. Biar lambat, pun ngesot. 

Saya punya mimpi. Saya punya cita-cita. Ada di sini memang untuk mengejar mimpi. Tapi cuti juga demi cita-cita. Kata orang, ngapain ke Borneo jauh-jauh. Kejarlah ilmu walau ke negeri China, kata Nabi Muhammad. Padahal Borneo ini belum China. IQ? Imam Syafii pernah mengatakan, anak panah tak akan menemukan sasaran jika tak lepas dari busurnya. Nah, itu dia. 

Orang bilang hidup berawal dari mimpi. Mungkin Bondan Prakoso yang bilang seperti itu. Setidaknya banyak orang lain juga percaya. Nyatanya, hidup ini bukan mimpi. Hidup ini bukan ide. Ide itu menciptakan kehidupan, tapi hidup bukan sebuah ide. IQ? 

Untuk menciptakan kehidupan kita butuh ide. Sebagian orang lebih suka mengatakannya sebagai mimpi. Beberapa lagi mengatakannya cita-cita, barangkali. Atau ada juga orang yang lebih suka menggunakan terminologi “visi”. Saya pikir, semua itu memiliki pemahaman yang sama meskipun seandainya dengan definisi yang berbeda-beda. 

Ada yang lucu dari semua itu. Atau sekedar kegamangan atau semacamnya. Banyak orang ketika ditanya apa cita-citamu. Jawabnya menjadi orang sukses. Sesukses apa, katanya banyak uang. Apakah ini bukan sebuah klise? Bagi saya, cita-cita yang demikian adalah cita-cita yang tidak tuntas sebagai cita-cita. 

Kalau cita-cita saja tidak tuntas sebagai cita-cita, lalu apa yang dikejar? Angin? Anak SD saja mengejar layang-layang, bukan mengejar angin. Dulu sewaktu SD saya tahu, saat mengejar layang-layang dan mendapatkannya, saat itu saya sukses. Karena saya tidak mengejar angin. Mengejar angin itu klise. Kalau mengejar layang-layang itu konkret. 

Juga ketika ditanya, nak apa cita-citamu, saya jawab jadi insinyur. Saya tahu, begitu menjadi insinyur, artinya saya sukses. 

“Itu sih dulu, waktu belum ngerti susahnya hidup” kata seorang teman. Sejak kapan hidup ini tak susah. Bukankah hidup ini memang tak mudah. Apakah hidup ini segampang tarik dan buang napas? 

Jadi, dalam pandangan saya, ukuran sukses itu harus jelas. Cita-citanya mesti konkret. Katakan saja nominalnya kalau sukses itu banyak uang. Satu miliar, misalnya. Kalau belum punya satu miliar artinya belum sukses. Cita-citanya belum tercapai. Ketika visi itu konkret, kita lebih mudah meletakkan misi di relnya. 

Cita-cita bisa diubah, tapi harus tetap konkret. Ditingkatkan atau diturunkan itu tergantung selera empunya cita-cita. Kalaupun diturunkan nilainya, manfaatnya harus naik atau minimal tetap. Jangan sampai dekadensi total. Lho iya to?! IQ? 

Hhhhhh…. Banyak ngelantur. Maklum makin berumur. 

Today I don’t feel like doing anything…. Suara Bruno Mars menyambut suasana hati lewat headphone.

05 Mei 2012

Sepiring Goreng Singkong di Sebuah Sore

Lagi asik makan singkong goreng panenan dari samping pos security, seorang teman kerja nyeletuk, "Orang dulu kok lebih suka makan singkong ya?" 

"Bukannya lebih suka sih mbak, karena emang adanya itu." 

"Lho, orang-orang itu kan nanam padi."

"Padi kan dijual. Beras waktu itu mahal. Kroco macam mereka mana kuat beli. Hasil panenpun dijual buat nutup kebutuhan yg lain. Ya alternatifnya singkong tadi. Singkongnya pun singkong gaplek (singkong kering). Kalau di masak jadi gathot, ada juga yg ngolah jadi thiwul. Jangan dikira slogan swa sembada beras berarti semua kebagian nasi. Palsu lah itu. Orang-orang yg nggak tau emang nyangka kita makmur, waktu itu. Bahkan sampai sekarang masih ada yg belum mentas dari neraka itu." 

"Gitu ya, ngerti banget." 

"Lho saya ini hidup di kehidupan mereka. Saya ini mereka. Jangan bakti sosial sebulan dua bulan udah merasa paling ngerti penderitaan mereka. Aku ini kawin sama mereka. Bukan sekedar ikut acara Jika Aku Menjadi yang cuma sehari dua hari aja. Belaga nangis-nangis, udah sok ngerti, padahal casting dulu. Kalau mau tau penderitaan mereka ya harus jadi mereka, bukan cuma jadi bagian dari mereka. Pengabdian masyarakat, paling lama tiga bulan udah merasa ngerasain penderitaan mereka. Tai kucing lah." 

Kemudian teman saya ngakak.